BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK


SUMATERA EKSPRES L.P.6
0

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT

Sabtu, 19 Juni 2010.

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT : 229 (Thalaq Raj’I dan Hukum Khulu’)

Pada ayat ini Allah Ta’ala masih menjelaskan masalah hukum-hukum yang terkait dengan thalaq, yang mana telah ditetapkan bahwa thalaq yang dibolehkan bagi seorang suami untuk meruju’nya kembali adalah dua kali, thalaq satu dan thalaq dua. Kemudian dalam ayat ini juga diisyaratkan tentang disyariatkannya khulu’ (bolehnya seorang wanita meminta cerai kepada suaminya karena ada sebab yang syar’i)… Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكُُ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلآَّ أَن يَخَافَآ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {229}

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 229 )

Tafsir Ayat : 229

Talak pada masa jahiliyah dan terus berlanjut pada masa awal Islam, yaitu seorang suami menceraikan istrinya tanpa batas, di mana apabila ia menghendaki memudharatkan istrinya, maka dia ceraikan dulu dan apabila hampir selesai masa iddahnya ia ruju’ kembali, kemudian ia ceraikan kembali dan begitulah seterusnya, hingga membuat kemudharatan bagi wanita yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa, { الطَّلاَقُ } “talak” yaitu yang boleh dilakukan ruju’ padanya, { مَرَّتَانِ } “dua kali” agar suami dimungkinkan (apabila ia tidak bermaksud memudharatkan), untuk kembali kepada istrinya dan ia berfikir kembali pada masa tersebut, namun jika lebih dari masa itu maka tidaklah haram baginya, karena barangsiapa yang menalak lebih dari dua kali maka dia itu kalau bukan karena lancang terhadap yang haram atau ia tidak mempunyai keinginan untuk meruju’, maka maksudnya adalah memudharatkan.

Karena itu Allah memerintahkan kepada suami tersebut untuk meruju’ istrinya, { بِمَعْرُوفٍ } ” dengan cara yang ma’ruf”, yaitu, pergaulan yang baik yang berlaku di antara mereka seperti apa yang berlaku pada pasangan yang semisal mereka, dan inilah yang lebih kuat, bila tidak, maka hendaklah menceraikan dan meninggalkannya, { بِإِحْسَانٍ } “dengan cara yang baik”.

Di antara cara yang baik itu adalah tidak mengambil sesuatu pun dari harta istrinya karena perceraian tersebut, karena tindakan itu adalah kezhaliman dan mengambil harta tanpa ada timbal baliknya sedikitpun, oleh karena itu Allah berfirman, [ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا ءَ اتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلآَّ أَن يَخَافَآ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَاللهِ] “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”, yaitu, melakukan khulu’ dengan cara yang ma’ruf di mana sang istri membenci suaminya akibat kejelekan akhlak, paras atau kurangnya agamanya, dan ia khawatir tidak dapat menaati Allah padanya. [ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَ يُقِيْمَا حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ] “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”, karena hal itu adalah pengganti untuk mendapatkan maksud yang dikehendakinya yaitu perpisahan.

Ayat ini merupakan dalil disyariatkannya khulu’ apabila hikmah tersebut ditemukan. { تِلْكَ } “itulah” yaitu apa yang telah disebutkan dari hukum-hukum syariat, { حُدُودُ اللهِ } “hukum-hukum Allah” yaitu ketetapan-ketetapan Allah yang disyariatkan olehNya bagi kalian dan Dia perintahkan untuk menjalankannya. [ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ] “barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim”. Dan kezhaliman apa lagi yang lebih besar daripada menerobos yang halal dan melampaui batasnya sampai menjadi yang haram, di mana yang telah dihalalkan Allah tidaklah memuaskannya?

Kezhaliman itu ada tiga macam:

Pertama, Kezhaliman hamba antara dirinya dengan Allah,

Kedua, Kezhaliman hamba yang paling besar (azh-Zhulm al- Akbar) yaitu syirik,

Dan ketiga, Kezhaliman hamba antara dirinya dengan orang lain.

Syirik itu tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat, dan hak-hak hamba tidaklah dipinggirkan sama sekali oleh Allah, sedangkan kezhaliman yang terjadi antara seorang hamba dengan Rabbnya dalam perkara selain syirik adalah di bawah kehendak dan hikmah Allah.

Pelajaran dari Ayat :

Merupakan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala yang membatasi jumlah thalaq dengan tiga kali saja, tidak ada ruju’ lagi setelah jatuh thalaq tiga kecuali istrinya dinikahi oleh orang lain terlebih dahulu; karena pada masa Jahiliyah dulu seseorang menthalaq istrinya dengan berkali-kali, apabila masa iddah hampir selesai ia meruju’nya kemudian ia thalaq lagi, maka berulanglah masa iddah dari awal lagi lalu jika masa iddah hampir selesai ia pun meruju’nya kembali demikian seterusnya… sehingga wanita menjadi sangat tersiksa, dia bukan seorang istri sebagaimana pada umumnya, bukan pula ia seorang yang diceraikan karena masih dalam ikatan masa iddah. Menjadilah wanita tersebut seorang yang terkatung-katung. Maka Allah Ta’ala membatasi thalaq menjadi hanya tiga kali saja.

Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali, pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’.

Jumlah thalaq yang dibolehkan bagi suami untuk ruju’ adalah dua kali, thalaq satu dan thalaq dua, lalu bagi siapa yang menthalaq istrinya dengan thalaq yang kedua kemudian ruju’ lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan thalaq ketiga) dengan cara yang baik, jika ia menthalaqnya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-laki lain.

Haramnya thalaq tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan ‘Kamu saya talaq tiga sekaligus’ pen.), karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” Maksudnya, seseorang mengucapkan kata talaq kepada istrinya langsung talaq tiga, ucapan seperti ini adalah termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun demikian ia tetap jatuh talaq tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut diatas (“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.”) dan (“Wanita-wanita yang di talaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’), thalaq dengan lafadz thalaq tiga sekaligus maka didalamnya tidak ada 2x thalaq raj’I seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah. Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi thalaq ba’in (jatuh thalaq tiga), akan tetapi hanya jatuh thalaq satu saja.

Wanita yang dithalaq tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu laki-laki yang menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi boleh menikahinya lagi.

Disyari’atkannya khulu’, yaitu seorang wanita yang tidak suka untuk meneruskan rumah tangganya bersama suaminya, lalu ia meminta untuk diceraikan dari suaminya dengan memberikan sejumlah harta kepada suaminya sebagai ganti dari mahar yang telah diberikan kepadanya ketika dia menikah. Hal itu jika keduanya atau salah satu dari keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jika kondisi keduanya tidak ada masalah maka tidak diperbolehkan bagi seorang istri meminta cerai (khulu’), sebagaimana hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan apapun maka haram baginya baunya surga”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya, dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Boleh khulu’ dengan meminta lebih dari mahar atau apa yang telah ia berikan kepada isrtinya, sesuai keumuman ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”, bayaran berjumlah banyak atau sedikit. Ada pula yang mengatakan bahwa umumnya ayat tersebut dikembalikan ke ayat, “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,” sehingga maknanya : bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dari aapa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Maka dari sini dapat disimpulkan (sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah), “Maka jika istri tersebut yang berbuat buruk lalu meminta cerai (khulu’) maka tidak apa-apa suaminya mengambil darinya lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, dan jika tidak demikian maka suami tidak boleh mengambil melebihi pemberianya.”

Wanita yang meminta khulu’ bukanlah raj’iyah maksudnya : bahwa perpisahan sebuah hubungan pernikahan yang disebabkan karena khulu’ maka itu adalah perpisahan selamanya yang tidak adajalan untuk ruju’ kepadanya kecuali dengan aqad nikah baru.

Bolehnya seorang wanita menggunakan hartanya sendiri tanpa izin suaminya, sesuai ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.

Wajib menahan diri dan berhenti terhadap batasan-batasan Allah dan haramnya melanggar batasan-batasan tersebut.

Diharamkan bagi seorang suami mengambil apa-apa yang telah diberikan kepada istri baik mahar atau lainnya, kecuali ia menthalaq istrinya sebelum dicampuri maka boleh baginya mengambil separoh dari maharnya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 237.

Haramnya berbuat dzalim, yang mana kedzaliman terdapat tiga macam :

Pertama, perbuatan syirik, yang hal ini tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat.

Kedua, kedzaliman seorang hamba kepada sesamanya, hal ini harus meminta keridhaan dari orang yang di dzalimi.

Ketiga, kedzaliman seorang hamba kepada diri sendiri dengan melanggar batasan-batasan Allah. Maka hal ini sesuai dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka ia diampuni, dan jika Dia berkehendak maka ia akan diadzab.

Dikumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber :
1. Tafsir as-Sa’diy
2. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Syaikh Ibnu Utsaimin.
3. Aisar at-Tafasir.

http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=133
Leia Mais...
0

KEINDAHAN POLIGAMI DALAM ISLAM

Kamis, 17 Juni 2010.

Keindahan Poligami Dalam Islam

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi



Kesempurnaan Islam adalah satu kepastian yang wajib diimani seorang muslim. Karena syari'at Islam telah mengatur semua sisi kehidupan manusia menuju kebahagian hakiki. Dengan ajaran Islam, maka seorang muslim dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." [Al Baqarah/2:38].

Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan keselamatan dan kebahagian kepada seluruh manusia yang mau mengikuti dan menjalankan petunjuk ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, semua permasalahan hidup, sudah seharusnya dikembalikan kepada syari'at Islam, yang merupakan petunjuk Allah. Begitu pula dalam masalah poligami, semestinya dikembalikan kepada petunjuk dan syari'at Allah. Dan seorang muslim dilarang memilih ketentuan dan hukum yang menyelisihi syari'at Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

"Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [Al Ahzab/33:36]

ISLAM MEMANDANG POLIGAMI
Menilik al Qur`an dan as-Sunnah dalam menyebutkan tentang hukum poligami, maka didapatkan, bahwa berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu. Dalam firman-Nya, Allah telah menyatakan:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" [An-Nisaa`/4:3].

Dalam ayat ini Allah berbicara kepada para wali (pengasuh) anak-anak yatim, bila anak yatim berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab salah seorang kalian, dan ia khawatir tidak dapat memberinya mahar yang cukup, maka hendaknya beralih kepada wanita yang lainnya, karena wanita itu banyak. Allah tidak membuatnya sempit, karena menghalalkan untuknya sampai empat wanita. Apabila khawatir berbuat zhalim bila menikahi lebih dari satu wanita, maka wajib baginya untuk mencukupkan satu saja, atau mengambil budak-budak wanitanya. [1]

Dengan izin Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah menikahi sembilan wanita selama hidupnya. Sebagaimana nampak dari sebuah hadits yang diberitakan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ

"Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengelilingi (menggilir) isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri". [HR al Bukhari, no. 5068 dan an-Nasaa-i, 6/54]

Juga nampak dalam perkataan Ibnu 'Abbas kepada Sa'id bin Jubair:

هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: لَا, قَالَ: فَتَزَوَّجْ! فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً

"Apakah kamu telah menikah?" Sa'id menjawab,"Belum," lalu beliau berkata,"Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini paling banyak isterinya." [HR al Bukhari no. 5069]

Dalam kalimat "orang terbaik ummat", terdapat dua pengertian. :

Pertama : Yang dimaksudkan ialah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga memiliki pengertian, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam orang terbaik dari ummat ini adalah orang yang paling banyak isterinya.

Kedua : Yang dimaksud dengan "yang terbaik dari ummat ini" dalam pernikahan, yaitu yang paling banyak isterinya.

Syaikh Mushthafa al 'Adawi berkata,"Semuanya mempunyai dasar dan menunjukkan pengertian yang sama, yang menjadi dasar pendapat ulama yang menyatakan sunnahnya berpoligami".[2]

Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah, juga didapatkan dengan merujuk kepada hadits-hadits yang menganjurkan agar kaum Muslimin memiliki banyak anak.

Di antara hadits-hadits tersebut ialah:

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا ؟ قَالَ: لَا, ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ

"Dari Ma'qil bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Jangan!" Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan beliau berkata: "Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya". [HR Abu Dawud no. 2050, dan Syaikh al Albani bekata: "Hadits hasan shahih". Lihat Shahih Sunan Abu Dawud].

Tentang hadits di atas, Syaikh Musthafa al 'Adawi menjelaskan: "Menikah banyak, dengan izin Allah dapat memperbanyak kelahiran. Dan banyaknya kelahiran, dapat menyebabkan takatsur (bangga dengan banyaknya jumlah). Dengan demikian, wanita yang subur juga dinasihati bila mengetahui seorang laki-laki (yang melamarnya) itu mandul, maka jangan menikah dengannya. Kemudian larangan (dalam hadits) ini bersifat makruh, bukan pengharaman. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mempertahankan para isterinya yang tidak melahirkan anak kecuali Khadijah dan Mariyah".[3]

Demikianlah, bahwa salah satu cara memperbanyak keturunan adalah dengan memperbanyak isteri.

HIKMAH DAN MANFAAT POLIGAMI
Setiap yang disyari'atkan dalam Islam, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar untuk ummatnya. Dibolehkannya poligami adalah cara terbaik dalam menciptakan keluarga dan masyarakat agar terjaga kemuliaan dan kehormatannya.

Ada beberapa hal bisa disebutkan untuk menunjukkan himkah dan manfaat poligami, sebagai berikut:

1. Poligami merupakan syari'at yang dipilih oleh Allah Azza wa Jalla untuk kemaslahatan ummat-Nya.

2. Seorang wanita mengalami sakit, haidh, nifas dan sejenisnya, yang menghalangi dirinya menjalankan tugas-tugas sebagai pasangan suami-isteri. Sedangkan lelaki, ia selalu siap menjadi penyebab bertambahnya ummat ini. Seandainya seorang lelaki tertahan pada masa-masa wanita berhalangan, tentu kemanfaatannya terbuang.[4]

3. Allah telah menjadikan jumlah lelaki lebih sedikit dari wanita. Kaum lelaki juga lebih banyak menghadapai sebab-sebab kematian dalam seluruh kehidupannya. Seandainya lelaki hanya dicukupkan dengan seorang wanita, tentulah banyak tersisa wanita yang tidak mendapatkan suami, sehingga memaksa mereka berbuat perbuatan kotor. Dan berpaling dari petunjuk al Qur`an dalam permasalahan ini menjadi sebab terbesar dalam masalah akhlak.[6]

Tentang jumlah lelaki dan wanita ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

"Di antara tanda-tanda kiamat, yaitu berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, tampak zina dan wanita menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga seorang lelaki berbanding dengan lima puluh wanita". [Mutafaqun 'alaihi].

4. Secara umum, seluruh wanita selalu siap untuk menikah. Dan sebaliknya, banyak lelaki yang tidak memiliki kemampuan melaksanakan konsekwensi pernikahan dikarenakan kefakirannya. Sehingga kaum laki-laki yang siap menikah dari lebih sedikit dari wanita.

5. Poligami dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menthalaqnya, sedangkan dirinya tidak memiliki seorang pun dari keluarganya yang dapat menanggungnya. Sehingga dengan poligami ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya.

Demikian juga poligami memiliki banyak manfaat, baik bagi individu, masyarakat maupun ummat Islam. Di antaranya:

1. Salah satu cara efektif untuk menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan.

2. Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai faktor keburukan dan penyimpangan. Syaikh bin Baz dalam fatwa beliau mengatakan, berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai kemaslahatan oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, kaum laki-laki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para isteri, melindungi mereka dari berbagai faktor yang menjadi penyebab keburukan dan penyimpangan (akhlak).[7]

Syaikh bin Baz juga menyatakan, hukum asal perkawinan itu adalah poligami (menikah lebih dari satu isteri) bagi laki-laki yang mampu dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim, karena (dengan poligami) mengandung banyak maslahat dalam memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita yang dinikahi itu sendiri, berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyak keturunan, yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak, dan makin banyak pula orang yang menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.[8]

3. Memperbanyak jumlah ummat Islam, sehingga memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad.

Syaikh Muhammad al Amin asy-Syinqithi berkata: "Al Qur`an menghalalkan poligami untuk kemaslahatan wanita agar mendapatkan suami, dan kemaslahatan lelaki agar tidak terbuang kemanfaatannya, ketika seorang wanita dalam keadaan udzur, serta (untuk) kemaslahatan ummat agar menjadi banyak jumlahnya, lalu dapat menghadapi musuh-musuhnya demi menegakkan kalimatullah agar tetap tinggi.[9]

Demikian indahnya ajaran Islam yang menghalalkan poligami. Tentu dalam mempraktekkan syari'at poligami ini perlu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah digariskan. Walahul-musta'an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Leia Mais...
0

Poligami dalam Islam


Poligami dalam Islam
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan)[1]. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3). [2]
“ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” ”
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Ragam pandangan
• 2 Praktik poligami oleh Nabi Muhammad
• 3 Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib
• 4 Referensi

[sunting] Ragam pandangan
Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh , Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.[3].Saat ini negara Islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko [4]. Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk Undang-Undang Mesir dengan syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya. [5]
[sunting] Praktik poligami oleh Nabi Muhammad
Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial [6]. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
[sunting] Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib
Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah , akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: [7]
“ Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. ”
Penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu.[8][9]
“ Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.
Leia Mais...
0

Jadilah Perintis Sunnah Hasanah Bukan Bid’ah Hasanah!

Selasa, 15 Juni 2010.

Jadilah Perintis Sunnah Hasanah Bukan Bid’ah Hasanah!
Kategori Manhaj | 15-06-2010 | 2 Komentar

Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata,

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ

تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Umumnya mereka dari kabilah Mudhar atau seluruhnya dari Mudhar, lalu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat, kemudian beliau shalat. Setelah shalat beliau berkhutbah seraya membaca ayat,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa: 1)

dan membaca ayat di surat Al Hasyr,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr:18) Telah bershodaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’ kurmanya sampai beliau berkata walaupun separuh kurma.

Jarir berkata, ‘Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurroh, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu’. Jarir berkata: ‘Kemudian berturut-turut orang memberi sampai aku melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas, lalu Rasulullah bersabda,

“Barang siapa yang membuat contoh dalam Islam contoh yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang mencontohkan contoh jelek dalam islam maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka”.

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh : Imam Muslim dalam Shahih Muslim (7/103-104, dengan Syarah An Nawawi) dan (16/225-226), Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362), An Nasaa’i dalam Al Mujtaba’ (5/75-76-77), Al Tirmidzi dalam Al Jaami’ (5/42) no. 2675 dengan lafadz :

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ……… وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً

dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.

Telaah Makna Hadits

Perkataan : (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) An Nimar dengan di-kasrah-kan huruf Nun adalah bentuk plural dari Namirah dengan di-fathah-kan. Ia bermakna baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (Al Abaa’) dengan di-mad-kan dan di-fathah-kan huruf ‘ain-nya عَبَاءة – عَبَاية . Sedangkan makna مُجْتَابِي النِّمَارِ artinya sobek dan belas bagian tengahnya.

Perkataan: فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermakna berubah.

Perkataan : فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting dan menasehati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan mereka dan memperingati mereka dari perkara jelek.

Perkataan beliau : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ , sebab dibacanya ayat ini karena ia lebih pas dalam menganujurkan mereka bershodaqah dan karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.

Perkataan: رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ , Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Bermakna tempat yang tinggi seperti bukit kecil.

Perkataan : حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ bermakna bersinar karena senang dan bahagia.

Perkataan: مُذْهَبَةٌ para ulama membacanya dengan dua sisi,

Pertama: yang sudah masyhur dan dirojihkan Al Qaadhi dan Jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’.

Kedua: مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.

Al Qadhi menjelaskan dalam Masyaaqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya:

Pertama : maknanya perak keemasan, ini cocok untuk keindahan wajah dan sinarnya.

Kedua: menyerupakannya dalam keindahan dan bersinarnya dengan Al Mudzhabah dari kulit dan bentuk pluralnya adalah madzaahib. Al Mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.

Adapun sebab bahagianya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senangnya beliau dengan bersegeranya kaum muslimin melaksanakan ketaatan kepada Allah, mengeluarkan hartanya karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih sayang sesama kaum muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Seorang sudah sepatutnya jika melihat hal seperti ini, untuk bahagia dan menampakan kebahagiannya dan senangnya karena apa yang telah dijelaskan tadi.

Perkataan : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا , yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah contoh teladan atau perilaku, bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam sabda beliau,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ

dan sabdanya,

منْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي.

Konsekuensi hadits menunjukkan makna ini. Maksud saya, dengan konsekuensi hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً ,

karena Rasulullah telah mensifati sunnah dalam hadits ini dengan kejelekan, dan tidak ada sunnah jelek dalam Islam. Maka yang dimaksud sunnah di sini adalah makna bahasa (etimologi) bukan makna istilah.

Kemudian kita sampaikan kepada orang yang menyelisihi kita,

Sungguh orang-orang itu telah memisah hal-hal yang sama

dan menyamakan hal-hal yang berbeda,

Mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk,

yang berkualitas rendah dengan yang tinggi,

dan meletakkan tanah dalam adonan roti.

Kata Sunnah ada dalam banyak nash bermakna yang jalan contoh teladan atau perilaku, sebagaimana hal itu ada dalama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

“Tidak ada satu jiwa pun terbunuh secara zhalim kecuali anak adam pertama mendapatkan bagian dari darahnya, itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan”.

Dan juga sabdanya,

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Sungguh kalian kelak akan mengekor perilaku orang-orang setelah kalian (yaitu orang musyrik)”

Dari hadits-hadits ini, seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampuradukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan terdahulu, maka kami sampaikan kepada mereka konsekuensi pernyataan mereka tersebut. Yaitu sesungguhnya membunuh adalah sunnah dan meniru orang musyrik adalah sunnah! Tentu ini adalah pernyataan yang tidak akan disampaikan seorang yang berakal. Sehingga kalau begitu tidak mungkin kita pahami sabda beliau مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً sebagai amalan baru yang diada-adakan secara langsung, karena sunnah itu baik atau jeleknya tidak diketahui kecuali dengan syariat. Hal itu karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari’at semata tidak ada celah bagi akal dalam hal ini. Inilah madzhab ahlu sunnah wal jamaah

Yang menilai baik dan buruk dengan akal hanya merupakan pendapat ahlul bid’ah, sehingga mengharuskan sunnah dalam hadits tersebut baik menurut syariat atau buruk menurut syariat. Hal ini tidak pas kecuali untuk seperti shadaqah yang disebutkan dan yang menyerupainya dari sunnah-sunnah yang disyariatkan. Sedangkan sunnah sayyi’ah (yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam ketika Rasulullah bersabda: لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ , dan kepada kebidahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari’at.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (13/302): “Al Muhallab berkata: Bab ini menjelaskan larangan dan peringatan dari kesesatan dan menjauhi kebidahan dan perkara-perkara baru dalam agama serta larangan menyelisihi jalan kaum mukminin.”.

Sisi peringatannya (wajhu tahdzir) adalah orang yang berbuat kebidahan terkadang meremehkannya karena kecilnya di awal dan tidak merasakan timbulnya kerusakan akibat amalan tersebut, yaitu mendapatkan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, walaupuan seandainya ia tidak mengamalkannya namun karena ia adalah orang yang merintisnya.

Imam An Nawawi berkata dalam Shahih Muslim (7/104), “Dalam hadits ini terdzpat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan contoh baik serta ada peringatan dari merintis kebatilan dan perkara jelek. Sebab ucapan beliau dalam hadits ini adalah pernyataan beliau sebelumnya:

فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ

Ini merupakan keutamaan yang agung bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut”.

Salah Paham Terhadap Hadits

Hadits ini dipahami salah ketika banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah(baik) dan bidaha sayyi’ah (tercela). Sebagian ulama pun ikut-ikutan dalam hal ini. Akan jelas bagimu kesalahan cara berdalil ini sebagai berikut:

Banyak dari orang yang berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bidah yang menyampaikan hadits sepotong-spotong dengan menampakkan kepadamu sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalisasi dalam pembagian bidah tersebut, lalu mengklaim adanya bidah hasanah, ketika ia tidak menyebutkan obyek yang menyebabkan nabi menyatakan :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً

Kami telah menjelaskan di atas maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa bukan secara syar’i

Sungguh saya menuntut orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan: “Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sunnah yang jelek?”. Walaupun beliau sendiri menyatakan dalam hadits ini: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً . Jika kalian menjawab: “Ya, ada”, maka tidak perlu berdebat, karena dengan pernyataan jelek seorang dapat keluar dari agama tanpa disadari, karena hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama. Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits ini yang ada padanya sifat sunnah dengan jelek agar mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.

Sampai-sampai hadits ini walaupun seandainya tidak ada pensifatan sunnah dengan jelek sekalipun, sudah cukup dengan lafadz yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً

Karena hal itu adalah pensifatan yang salah dan tidak layak sama sekali, maknanya disana tentu ada sunnah yang tidak baik dari sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dalil yang kuat menunjukkan bahwa lafadz tersebut secara bahasa, karena sudah dimaklumi sunnah itu adalah agama. Jika anda katakan, “Ini sunnah yang baik, maka anda sama saja dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, pada apa yang kamu ingin bersihkan”.[1]

Penulis (Usamah Al Qashash) berkata, “Sungguh salah paham terhadap hadits ini, membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang yang melakukan perkara bidah yang tidak ada dasarnya dalam syariat, ketika dingkari berdalil dengan hadits ini dan menyatakan: “Ini perkara baik dan tidak apa-apa”, padahal nabi menyatakan: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً .

Kita sampaikan kepada mereka ini: Sesungguhnya sahabat yang memulai yang melakukan amalan shadaqah tidak melakukan sesuatu yang baru dalam syari’at. Shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb alam semesta dalam Al Qur’an dan juga ada dalam sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya tersebut menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah, namun ketika mereka semua lambat dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bangkit seorang Anshar dari mereka dan menyerahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam satu shurrah shadaqah, dan dari sini berturut-turut orang menyerahkan shadaqahnya, sehingga perbuatan Anshar ini terpuji. Ia tidak berbuat bidah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari’atkan. Maka dari mana mereka dapat menyatakan: “Di sana ada bidah hasanah bermakna istilah syar’i?”.

Kemudian seandainya makna hadits seperti yang telah mereka pahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif, karena Rasulullah menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. Oleh karenanya pemahaman mereka tersebut jelas tidak benar.

Al Barkali berkata dalam Al Thariqah Al Muhammadiyah (1/128, dengan syarah Al Khaadimi), “Seandainya anda meneliti semua yang disampaikan padanya bid’ah hasanah dari jenis ibadah, maka tentu kamu mendapatinya diizinkan oleh syari’at baik secara isyarat atau dalil”.

Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam komentarnya terhadap kitab Al Baa’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits hlm 87,“Dengan demikian keluar dari keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: setiap bid’ah sesat, karena bidah dalam makna syar’i adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at baik perkataan dan perbuatan, jelas-jelas atau isyarat.

Setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bidah yang sesat, walaupun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan atau yang terkenal sebagai Syaikh!! Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah selama tidak sesuai dengan syari’at.

Kita sampaikan kepada orang yang menganggap baik banyak kebidahan dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً tidak bermakna orang yang mencontohkan dalam agama yaitu dalam hukum dan furu’-nya serta ushul-nya, bukan! Ini merupakan kebodohan, namun maksudnya adalah orang yang mencontohkan dalam zaman dan naungan Islam yaitu pada zaman dan keberadaannya. Hal itu karena agama datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan, sehingga dalam naungan agama yang lurus menjadi sesuatu yang agung perbuatan mencontohkan padanya satu kejelekan. Tidak ada perbedan anatara kejelekan yang baru atau kejelekan yang sudah ada dahulu sebelum islam.[2]. (Sampai di sini nukilan dari Al Israaq)

Di samping itu, seandainya sahabat dari Anshar tersebut melakukan perbuatan lain selain shadaqah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya maka perbuatan atau perkataan sahabat ini adalah sunnah setelah persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah ini tidak ditetapkan kesunahannya dari sekedar perkataan atau perbuatan saja namun hanya karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terjadi pada sahabat yang menyatakan setelah I’tidal dari ruku’ :

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Ketika selesai sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapakah yang mengucapkan hal itu?” Maka ia menjawab: “Saya wahai Rasulullah”, lalu beliau bersabda:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا

“Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya”.

Ini persetujuan dan anjuran dari beliau, sehingga perbuatannya adalah sunnah dari sisi ini dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataaannya ini ketika i’tidal setelah ruku’ dan ia sunnah hasanah yang diambil dari persetujuan Nabi. Persetujuan ini terputus dengan kematian beliau, kecuali yang telah beliau arahkan, maka ia tidak keluar dari makna iqrar (persetujuan) beliau.

Sebagian orang yang mencoba mencari nash lain untuk melegalkan pendapatnya tentang pembagian ini, sehingga sebagiannya menyandarkan kepada pernyataan Umar dalam shalat tarawih: ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini’

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha Shirati Al Mustaqim hlm 270, “Sebagian orang berpendapat kebidahan terbagi menjadi dua bagian; hasanah dan qabihaah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar dalam shalat tarawih: “Sebaik-baik bidah adalah ini” dan dengan dalil dengan beberapa perkataan dan perbuatan yang terjadi setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau dia hasanah karena dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dari ijma’ atau qiyas. Terkadang orang yang tidak faham ushul ilmu memasukkan dalam hal ini kebiasaan banyak orang dalam berbagai ibadah dan sejenisnya, lalu menjadikan hal ini sebagai dalil yang menguatkan orang yang menganggap baik sebagian kebidahan. Ada kalanya menjadikan kebiasaannya dan kebiasaan orang yang dikenalnya sebagai ijma’ walaupun tidak tahu pendapat seluruh kaum muslimin dalam hal tersebut. Atau terkadang enggan meninggalkan kebiasaannya seperti kondisi orang yang Allah nyatakan,

“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya“. (QS. Al Ma’idah: 104)

Alangkah banyak orang yang dikatakan memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujah dengan hujjah-hujjah yang keluar dari pokok ilmu yang diakui dalam agama ini.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Leia Mais...
0

Wanita Yang Berhijrah Dua Kali


Wanita Yang Berhijrah Dua Kali
TOKOH - Kamis, 12 Juli 2001



Rombongan muhajir ke Habasyah membawa 11 orang wanita. Ini berarti bahwa wanita muslim adalah bagian dari dakwah dan jihad di jalan Allah. Mereka tinggalkan kesenangan hidup yang hanya sebentar, berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah. Mereka tinggalkan tanah airnya yang mahal dan berangkat menuju Habasyah, sebuah negeri yang jauh dengan penduduk yang berlainan bangsa, warna dan suka, demi membela akidah yang diimaninya.
Tatkala fajar dakwah memancar dari Mekkah, maka muhajir pertama bukanlah dua orang laki-laki, tetapi seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedua Muhajir ini adalah Utsman bin Affan dan Ruqayyah binti Muhammad saw. Ruqqayah lahir sesudah kakaknya, Zainab. Sesudah kedua orang itu, muncullah Ummu Kaltsum yang menemani dalam hidupnya setelah Zainab menikah.

Ketika keduanya mendekati usia perkawinan, Abu Thalib meminang mereka berdua untuk kedua putra Abu Lahab. Allah menghendaki perkawinan ini tidak berlangsung lama, karena melihat sikap Abu Lahab terhadap Islam. Akan tetapi Allah swt. Menampilkan Utsman bin Affan kepada kedua putri itu. Maka dia pun menikah dengan Ruqayyah dan hijrah bersamanya ke Habasyah. Ummu Kaltsum tetap tinggal bersama ayah dan ibunya menunggu sesuatu yang ditakdirkan baginya.

Imam Adz-Dzahabi berkata: 'Ruqayyah hijarah ke Habasyah bersama Utsman dua kali. Nabi saw. Bersabda: 'Sesungguhnya kedua orang itu [Utsman dan Ruqayyah] adalah orang-orang yang pertama hijrah kepada Allah sesudah Luth.' Ruqqayah kembali bersama Utsman ke Mekkah dan mendapati ibunya Khadijah telah wafat. Kemudian kaum Muslimin pindah dari Mekkah ke Madinah semuanya. Ruqqayah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali. Tak dirasakannya kesulitan-kesulitan selam hijrah, ia teguhkan hatinya untuk berhijrah dan setia selalu mendampingi suaminya.

Penyebab hijrah ke Habasyah adalah takut fitnah dan menyelamatkan agama mereka menuju Allah. Bukan menyebarkan agama Islam, karena Habasyah pada waktu itu menganut agama baru yang menyainginya meskipun Habasyah diperintah oleh Raja yang tidak menganiaya seseorang. Hijrah ke Habasyah merupakan bagian dari peralihan dan kelanjutan perjuangan, karena hasil yang diharapkan oleh kaum Muhajirin dari Hijrah mereka ke Habasyah adalah menyelamatkan agamanya ke negeri yang memberi ketenangan bagi mereka di sana. Di negeri itu mereka tidak mengalami kekerasan dan gangguan sampai ketika saudara-saudara mereka di Mekkah ditakdirkan binasa hingga orang terakhir, membawa panji dakwah sebagai penerus.

Adapaun hijrah ke Madinah, maka penyelamatan agama adalah salah satu penyebab utama. Penyebab utamanya adalah perubahan dan kelanjutan perjuangan di mana para muhajir dapat mendirikan sebuah tanah air di tempat hijrah mereka. Selama 13 tahun Islam merupakan agama tanpa tanah air dan rakyat tanpa negara. Hijrah yang merupakan tahap kedua di antara tahap-tahap dakwah adalah tahapan perjuangan yang paling rumit. Apabila tahapan ini telah memiliki sifat petualangan, maka sesungguhnya petualangan itu hanyalah semacam perjuangan, bahkan macam perjuangan heroik tertinggi.

Tahap perjuangan ini berhasil mendapatkan kemenangan. Iman mengalahkan kekuatan, roh mengalahkan materi dan kebenaran mengalahkan kebatilan. Sesungguhnya kebesaran dari kemenangan itu sulit digambarkan dan dinilai.Kebebasan dari ketakutan dan perjuangan menuju keamanan. Kebebasan dari perbudakan dan perjuangan menuju kemerdekaan. Kebebasan dari kehinaan dan perjuangan menuju kemuliaan. Kebebasan dari kesempitan dan perjuangan menuju kelapangan. Kebebasan dari kelumpuhan dan perjuangan menuju keaktifan. Kebebasan dari kelemahan dan perjuangan menuju kekuatan. Dan kebebasan dari ikatan-ikatan bicara dan perjuangan menuju kebebasan bicara.

Ruqqayah kembali kepada Tuhannya setelah menderita sakit demam. Kemudian Rasulullah saw. Mengawinkan Utsman dengan Ummu Kaltsum. Ia adalah wanita yang teguh, turut mendampingi suami berhijrah saling bantu dan saling memberikan pengorbanan serta pembelaan. Semoga Allah merahmati Ruqqayyah yang hijrah dua kali dan Utsman yang mempunyai dua cahaya, dan semoga Allah membalas keduanya atas jihad dan kesabarannya dengan sebaik-baik balasan.#

dikirim kembali oleh Luluk
Leia Mais...
0

Ummu Habibah binti Abu Shofyan


Ummu Habibah binti Abu Shofyan
TOKOH - Sabtu, 9 Juni 2001



„Ketika Abu Sofyan berkumjung ke Madinah, ia ke rumah putrinya Ummu Habibah. Saat ia hendak duduk di atas tilam itu. Sang ayah menegur : „Wahai putriku, mengapa kau larang aku duduk di tilam itu?' Ia menjawab: „Maaf tilam ini milik Rasululloh, sedang anda seorang musyrik. Dan saya tidak ingin seorang musyrik duduk di atasnya'.
[ Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah].
Abi Sofyan pemimpin Quraisy yang perkasa mengawinkan putrinya , Ramlah binti Abi Sofyan dengan Ubaidilah bin Jahasy; anak bibi Rasulullah saudara Ummul Mukminin Zainab ra. Suami istri baru itu langsung masuk Islam.

Keadaan yang semakin mengkhawatirkan di Makkah, membuat suami isteri itu memutuskan untuk berhijrah ke Habsyi. Mereka berangkat dalam rombongan kedua, sedang Ramlah saat itu dalam keadaan hamil. Abu Sofyan sangat marah dan kalap melihat kenyataan itu. Putrinya sendiri mengikuti ajaran Muhammad dan dia tidak mampu mencegahnya. Ramlah melahirkan seorang anak, namanya Habibah binti Ubaidillah. Sehingga sejak saat itu dia dipanggil dengan Ummu Habibah.

Di Habasya, Ummu Habibah menghadapi kenyataan pahit. Dia terbangun pada satu malam karena mimpi yang menakutkan. Dia melihat suaminya berubah menjadi buruk dan mengerikan. Ternyata suaminya tak seberapa lama kemudian berubah dan beralih agama, masuk Nasrani. Kenyataan ini begitu memukul hati dan perasaannya. Suaminya adalah satu-satunya orang yang diharapkan akan memberikan perlindungan dan ketenangan untuknya yang jauh dari negeri sendiri. Bahkan suaminya juga berusaha memaksa dia untuk berpindah agama. Namun Ummu Habibah berhasil bertahan dengan keyakinannya.

Hatinya pedih bercampur kecewa terhadap suaminya. Kalau hanya untuk berpindah agama, kenapa harus jauh-jauh datang ke Habasy. Menyiksa diri dengan perjalanan yang jauh, bahkan harusmenentang ayahnya, meninggalkan kampung halaman nenek moyangnya. Manusia macam apa, yang membuat isterinya harus berkorban, rela meninggalkan ayahnya yang sangat mencintai putrinya. Jika hanya seperti itu, semua yang dilakukan selama ini pecuma. Buat apa ia bersusah payah berhijrah, memerangi agama nenek moyang yang selama ini dianut. Ummu Habibah merasa geram kepada suaminya yang seenaknya mengganti agama dan keyakinannya. Meninggalkan agama nenek moyangnya, masuk Islam dan sekarang murtad masuk Nasrani. Betapa mudahnya berganti agama seperti orang mengganti baju saja, benar-.benar satu hal yang keterlaluan.

Ummu Habibah memandang puterinya trenyuh, iba. Apa salah puterinya sehingga mempunyai ayah murtad? kenapa harus lahir dari keluarga yang kacau.......bapak Nasrani, ibunya seorang muslimah sedang neneknya musyrik musuh utama Islam? Ummu Habibah berdua dengan puterinya menyepi dan menyendiri karena malu akan perbuatan dan tingkah laku suami, ayah puterinya itu. Pintu rumahnya tertutup, tidak mau bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan yang datang dari daerah yang sama.

Beberapa waktu lamanya Ummu Habibah dan puterinya menyembunyikan diri, hingga satu waktu terdengar ketukan dipintu rumahnya. Ternyata seorang utusan raja Najasi menyampaikan surat sambil berkata, „Raja kami menyuruh anda menyiapkan seorang wakil untuk menikahkan anda dengan nabi Arab itu. Sebab raja kami telah menerima permohonan untuk menjadi wakil nabi anda itu.......'

Ummu Habibah terkejut mendengar berita itu. Disuruhnya utusan itu untuk mengulang sampai tiga kali. Setelah Ummu Habibah yakin dengan berita itu, betapa hatinya gembira yang tidak terkira. Maka Ummu Habibah mengutus Khalid bin Ash bin Umayyah sebagai wakilnya karena merupakan orang yang tertua dari keluarganya. Sore harinya, Raja Najasi mengundang semua kaum muslimin yang ada di Habasya. Kaum muslimin berduyun datang dengan pimpinan Ja’far bin Abi Thalib serta Khalid bin Ash sebagai wakil Ummu Habibah. Setelah semuanya hadir, raja Najasi berkata lewat seorang penerjemahnya, „ Muhammad bin Abdullah menulis surat permohonan padaku, untuk mengawinkan dirinya dengan Ummu Habibah binti Abi Sofyan. Siapa di antara kalian yang mewakili?' Kaum muslimain menyatakan Khalid bin Ash sebagai wakil Ummu Habibah, Najasi mendatangi Khalid sambil berkata, „Kawinkan kepada Nabi kalian, aku memberi lamaran empat ratus dinar...' Khalid menjawab, „Aku terima apa yang diminta Rasulullah saw dan menerima uang lamaran itu......' Setelah selesai upacara perkawinan itu, raja Najasi menjamu dengan makanan dan minuman sebagaimana yang disunnahkan Rasulullah saw. Sesudah selesai acara walimahan itu, mereka berbondong-bondong menuju rumah Ummu Habibah untuk memberi restu. Sejak saat itu Ummu Habibah resmi menjadi Ummul Mukminin di pengasingan.

Pesta meriah diadakan di Madinah untuk menyambut kedatangan Ummu Habibah binti Abi Sofyan di rumah Rasulullah saw. Pamannya, Utsman bin Affan mengadakan walimahan dengan memotong banyak ternak. Sementara itu, Abi Sofyan mendengar perkawinan itu dengan penuh kekesalan.

Ummu Habibah selalu merasa sedih dan tampak murung. Pertentangan dan permusuhan antara ayah dan suaminya belum juga reda. Inilah yang membuat hatinya resah. Kaum Quraisy adalah sanak familinya, sedang kaum muslimin adalah sahabat dan teman seperjuangan suaminya.

Ketika Abi Sofyan datang ke Madinah untuk menemui Rosulullah untuk minta damai dan keselamatan. Abu Sofyan gentar juga sesampai di Madinah. Tapi dia ingat akan puterinya yang berada di rumah Rasulullah. Dengan sembunyi dia menemui putrinya, mohon untuk jadi perantara. Ummul Mukminin terperanjat melihat kehadiran ayahnya di rumahnya. Dia sudah lama tidak bertemu ayahnya sejak hijrah ke Habasya beberapa tahun yang lalu. Melihat kehadiran ayahnya itu, Ummu Habibah berdiri mematung tak mampu berbuat apa-apa. Melihat itu, Abu Sofyan yang mengerti keadaan puterinya tersenyum memaafkan. Abu sofyan langsung mengambil tempat duduk di ranjang Rosulullah karena Ummu Habibah tidak mempersilahkan ayahnya duduk. Melihat itu secepat kilat Ummu Habibah melommpat menggulung tilam diranjang itu dengan segera sebelum ayahnya sempat duduk di atasnya. Dengan heran Abu Sofyan bertanya, „Putriku...kau lipat itu karena aku tak boleh duduk di atasnya?' Ummu Habibah menjawab, „ini tempat Rosulullah. Aku tidak suka ayah duduk di situ sebab ayah seorang musyrik.' Mendengar itu, Abu sofyan langsung bangkit berdiri dengan wajah merah padam. Dengan marah berkata, „lihatlah nanti, kau akan bersedih ketika ayah mati'. Tanpa menoleh dan berkata apa-apa abu sofyan keluar. Ummu Habibah berdiri kebingungan menghadapi peristiwa itu. Dia berdiri menempel pada tembok, tak mampu menangis lagi hingga Rosulullah datang.

Barulah Ummu Habibah tahu maksud kedatangan ayahnya.Ummu Habibah benar-benar merasakan kesulitan dalam keadaan seperti ini, bagaimana sikap yang tepat darinya. Kemenangan-kemenangan Muhammad dan kaum muslimin berarti kebinasaan ayah dan semua familinya. Akhirnya Ummul Mukminin menyerahkan segalanya pada Allah dan Rasul-Nya. Tapi, ada pertanyaan di hati kecilnya. Dapatkah aku melepaskan diri dari ikatan darah ini? itulah pertanyaan yang mengganggu hatinya. Kesedihan yang bagaimanakah yang akan menimpanya melihat kehancuran kaumnya itu? Apakah dia akan dapat melupakan dari hatinya? tapi akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri. „Tidak,'...hatinya berkata. „Bukankah kecongkakan mereka sendiri yang menghancurkan?', itulah jawaban yang ditimbulkan di hatinya. Tiba-tiba di tengah kebingungan itu muncul harapan betapapun kecil di hatinya. Apakah tidak mungkin ayahnya akan masuk Islam, sebagaimana tokoh-tokoh penentang sebelumnya? Umar bin Khottab, Mu’awiyah adiknya, Khalid ibn Walid, dan Abul Ash, suami Zainab putri Rosulullah saw dll. Harapan yang mungkin sia-sia, tapi tetap dia pegang untuk menentramkan hatinya yang risau Satu-satunya upaya yang dapat dilakukannya adalah berdoa, memohon kepada Allah swt agar ayah dan seluruh keluarganya masuk Islam. Dengan sikap itu dia menjadi tenang, selalu membaca ayat.ayat yang sekiranya akan dapat membuka hati keluarganya. Hanya itulah yang dapat dilakukan untuk menolong dan menunjukkan bakti pada keluarganya.

Alhamdulillah, Abu sofyan ayahnya Ummu Habibah masuk Islam ketika terjadi Futuh Makkah [ kemenangan Islam ].

Ummu Habibah akhirnya meninggal dengan tenang pada tahun 44 Hijriah dalam usia 60 tahun. Dia dimakamkan di Baqi, dan banyak hadits yang telah diriwayatkan olehnya.

Sumber : „Istri-Istri Nabi saw'
Leia Mais...
0

Sang Pemberani Yang Sabar


Sang Pemberani Yang Sabar
TOKOH - Ahad, 10 Juni 2001



Wanita muslimah ini telah beriman pada masa awal-awal kenabian Rasulullah. Peristiwa bukit Shofa adalah sebuah titik tolak untuk membuktikan komitmennya kepada Islam. Ia adalah salah seorang muslimah yang menyokong seruan Rasulullah ketika beliau bersabda kepada kerabatnya di bukit Shofa, „Sesungguhnya aku datang untuk memberi peringatan kepada kalian, bahwa di depan kalian terdapat siksa yang amat keras !'
Dialah Shofiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah sekaligus saudara perempuan sekandung Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia masuk Islam bersama angkatan pertama orang-orang yang beriman kepada seruan dakwah nabi.

Sejak digulirkannya dakwah jahriyah [terang-terangan], Shofiyah tidak pernah lalai dalam menapaki tugas dan kewajibannya sebagai mukminah yang kaaffah [menyeluruh]. Baginya, menerima Islam berarti pula rela untuk menggadaikan dirinya bagi kemuliaan Islam. Sejarah mencatat, bahwa Shofiah terhitung salah satu wanita yang amat gigih menyokong perjuangan Rasulullah. Dan segigih itu pula ia berdakwah kepada keluarga dan kaum kerabat yang terdekat. Putra laki-lakinya pun ikut masuk dalam barisan Islam. Tak ayal lagi, Shofiyah pun harus menghadapi teror, ancaman pembunuhan dan penghinaan dari musuh-musuh Islam. Shofiyah tidak pernah menyesali hal itu, karena itu memang telah disadarinya sejak awal ia menerima Islam secara utuh dan menyeluruh.

Ketika ancaman dan intimidasi begitu berat di Mekkah, Shofiyah dan anaknya ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah. Hijrah dalam rangka menyelamatkan iman. Bertahun-tahun ia tinggal di Madinah dan selalu ikut berpartisipasi dalam perang-perang besar yang terjadi.

Perang Uhud menjadi saksi atas kegigihan Shofiyah. Dalam perang Uhud sebagian besar kaum muslimin melakukan tindakan yang tidak disiplin, lantaran tergiur oleh ghonimah [rampasan perang] yang berceceran di kaki bukit Uhud. Inilah satu kesalahan yang mengakibatkan serangan balik tentara kaum kufar. Peristiwa ini nyaris merenggut nyawa Rasulullah. Pasukan kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan medan pertempuran. Di saat itulah naluri jihad Shofiyah menyeruak. Ia segera merenggut sebuah lembing, seraya diacung-acungkan dengan gagah.

„Apakah kalian akan meninggalkan Rasulullah ?' teriak Shofiyah bersemangat. Demi mendengan teriakan itu, semangat juang kaum muslimin yang sempat pudar, kembali bergelora. Mereka kembali menyongsong musuh dan akhirnya berhasil menyelamatkan Rasulullah.

Ketika perang usai, Hamzah saudara kandungnya gugur sebagai syahid dalam keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya dicincang oleh Hindun yang ingin membalas dendam. Mendengar peristiwa itu Rasulullah memerintahkan putra Shofiyah untuk menjauhkan Shofiyah dari bekas medan pertempuran. Rasulullah khawatir Shofiyah akan shock melihat keadaan saudaranya itu. Namun, apa yang dikatakan muslimah itu ?

„Berita kematian saudaraku yang mati dalam keadaan tercincang demi membela agama Allah telah sampai kepadaku. Biarlah aku menjenguknya, insya Allah aku mampu bersabar ... !', demikian kata Shofiyah dengan tenang dan sabar.

Ketika Shofiyah sampai di depan jenazah Hamzah saudaranya, ia berkata, „Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, wahai ayah Amarah. Semoga Allah mengampunimu. Kita adalah kaum yang biasa menyaksikan kematian dan kesyahidan ... sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya.'

Di perang Khandaq [prang parit], Shofiyah kembali menorehkan catatan sejarah. Saat itu kondisi kaum muslimin di Madinah sangat kritis setelah pengkhianatan kaum Yahudi bani Qunaiqa. Pasukan musuh mengelilingi kota dari segala penjuru. Shofiyah yang tengah berjaga, melihat seorang Yahudi mengendap-endap mengelilingin benteng dan melewati parit. Mengetahui hal itu Shofiyah meminta Hasan untuk menyergap si yahudi. Namun Hasan tidak berani. Segera Shofiyah mengambil sebatang tongkat, lalu keluar dari benteng. Dengan mengendap-endap ia mendekati yahudi pengintai itu dan segera memukulkan tongkat yang dibawanya hingga si Yahudi terkapar mati.

Itulah Shofiyah binti Abdul Muthalib, sosok seorang muslimah kaaffah yang pemberani dan sabar. Di dalam tarikh Ath-Thabari diriwayatkan bahwa Shofiyah meninggal dunia pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada usia lebih dari 73 tahun. Ia kemudian dikebumikan di pekuburan Baqi’. Beberapa hadits telah diriwayatkan dari lisan wanita sholihat itu, dan banyak pula para perawi yang meriwayatkan hadits yang berasal darinya.

Shofiyah ... semoga Allah menempatkannya pada tempat yang mulia di sisi-Nya.

Sisarikan dari Ummi no 12/VI/1995
Leia Mais...
0

Mulianya Khadijah Istri Nabi

Minggu, 13 Juni 2010.

Mulianya Khadijah Istri Nabi
TOKOH - Ahad, 14 Oktober 2001



'Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan ... darinyalah aku mendapatkan keturunan.'

Begitulah Rasulullah saw berkata tentang kepribadian Khadijjah, istrinya. Seorang istri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan dirinya berkorban demi kejayaan Islam.

Siti Khadijah berasal dari keturunan yang terhormat, mempunyai harta kekayaan yang tidak sedikit serta terkenal sebagai wanita yang tegas dan cerdas. Bukan sekali dua kali pemuka kaum Quraisy mencoba untuk mempersunting dirinya. Tetapi toh pilihannya justru jatuh pada seorang pemuda yang bernama Muhammad, pemuda yang begitu mengenal harga dirinya, yang tidak tergiur oleh kekayaan dan kecantikan.

Bukan harta, ketampanan, ketenaran serta rentangan usia yang ia inginkan, ketika ia memutuskan untuk membangun kembali sebuah rumah tangga dengan pemuda Muhammad. Tapi kepribadian Muhammad yang agung, kejujurannya serta budi pekertinya yang agung, yang telah memikat hatinya.

Ketika suami tercinta diangkat Allah menjadi seorang Rasul penutup, bukanlah sedikit peranan yang dimainkan Khadijah. Darinya Muhammad Rasulullah mendapatkan ketenangan, ketenangan yang selalu didambakan oleh seorang suami dari istrinya.

Ketika Rasulullah datang padanya dengan berkeringat dan wajah yang pucat pasi serta hatinya yang dilanda gundah-gulana setelah kunjungan Malaikat Jibril di gua Hira, di suatu malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan, dengan lembut dan kasih sayang Khadijah memeluk dan menyelimutinya seraya berkata, 'Bergembiralah ! Demi Allah, Allah tidak akan mengecewakanmu. Engkau adalah seorang yang selalu baik terhadap kerabat, selalu berbicara benar, membantu orang yang lemah, menolong orang sengsara, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri diatas kebenaran.'

Beliau adalah contoh terbaik bagi setiap wanita yang pantas melengkapi kesempurnaan seorang manusia besar, seorang pembawa risalah Islam yang agung, yang tengah mengendap-endapdi dalam pekatnya kepulan debu budaya jahiliyyah. Tanpa sedikitpun keraguan, ia langsung mengimani apa yang Allah turunkan pada Rasulullah di malam itu.

Rumah tangga yang tengah dibangunnya adalah rumah tangga penuh dengan kebahagiaan, atau tepatnya rumah tangga yang paling bahagia, rumah tangga yang selalu diliputi dengan ketakwaan kepada Allah, kesucian yang jauh dari kekotoran nilai-nilai kebodohan dan pemujaan berhala. Salah satu persembahan rasa cinta bagi suaminya, adalah dengan kelahiran keempat putri dan dua orang putra. Putri-putrinya bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah. Sedangkan dua orang putranya bernama Al-Qasim dan Abdullah. Namun atas kehendak Allah pula kedua putranya tersebut hanya beberapa saat berada di pangkuan, kemudian kembali menghadap kehadirat Allah.

Sejenak, hal ini membuat hatinya menjadi resah dan sedih, mengingat akan pentingnya kedudukan seorang anak laki-laki dalam masyarakat Arab masa itu. Namun dengan kesabaran dan tawakal, dia terima semua kehendak Allah tersebut. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun, segalanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah ...

Khadijah adalah seorang istri yang selalu siap disamping suaminya, siap membela dan membantu setiap langkah perjuangan Rasulullah. Pemboikotan terhadap bani Hasyim dan pengusiran keluarga mereka adalah sebagian kecil dari kesengsaraan, derita dan penganiayaan yang dialaminya. Namun tekanan dan penderitaan selama masa pemboikotan tersebut [3 tahun penuh] tidaklah membuatnya menjadi lemah semangat, bahkan ia semakin tegar, tetap tegak mendampingi sang suami.

Siti Khadijah sungguh merupakan nikmat karunia Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah. Seorang istri yang amat setia. Ia selalu berada di sisi Rasulullah, ketika beliau mnghadapi pahit getirnya perjuangan menegakkan Islam.

Betapa banyaknya istri dari nabi terdahulu yang menghianati Risalah yang dibawa suaminya, seperti contohnya istri nabi Nuh dan istri nabi Luth. Namun tidak demikian halnya dengan Siti Khadijah. Air mukanya selalu tampak cerah memantulkan pengaruh wahyu Illahi.

Seperempat abad Khadijah mendampingi Rasulullah. Dalam usianya yang menginjak 65 tahun, Allah berkenan memanggilnya kembali. Tahun tersebut menjadi tahun kesedihan bagi Rasulullah. Betapa tidak, seorang yang selama ini setia mendampingi perjuangannya, menenangkan hatinya, mengorbankan segala yang ada pada dirinya, tidak lagi ada di sisinya.

Sitti Khadijjah, ridha Allah dan Rasulullah baginya, semoga rahmat Allah selalu tercurah atas dirinya.

Sumber : Fiqhus Sirah, karya Muhammad Al-Ghazaly Istri-Istri nabi, karya Aisyah abdurrahman
Leia Mais...
0

Ketegaran Mengalahkan Kebodohan


Ketegaran Mengalahkan Kebodohan
TOKOH - Kamis, 12 Juli 2001



“Sejak memeluk Islam gelora semangat Tufail pemimpin suku ad-Dausy untuk berdakwah pada kaumnya makin tak terbendung. Mula-mula pada istrinya, ia lansung menyodok “ dengarkanlah..... mulai detik ini engkau bukan milikku dan aku bukan milikmu.”
“Mengapa demikian wahai suamiku?” Islam telah membedakan aku dan engkau!

” Tidak...sebab agamamu adalah agamaku!” jawab sang isteri mantap.

Seruan dakwah Tufail, disambut dingin. Kecuali oleh dua orang, Abu Hurairoh dan Abul Akr, yang menyambut.hangat Abul Akr adalah suami dari Ghaziyah binti jabir, wanita yang sontak mengimani apa yang diimani suaminya.

Dari sinilah bermula kisah ketegaran seorang Ghaziyah binti jabir. Wanita yang terkenal juga dengan dengan sebutan Ummu Syariek itu tanpa sungkan sejak itu memperlihatkan ciri-ciri keimanannya pada masyarakatnya. Muslimah itu berharap, akhlak-akhlak karimah yang diperlihatkannya, akan makin membuka kesadaran kaumnya.

Namun ternyata harapannya melesat, tetangga-tetangganya malah jadi berang dengan ulah Ummu Syariek, dan langsung mengadukan perihal keislaman wanita itu pada saudara-saudaranya. Suatu hari , tatkala suaminya sedang tak berada dirumah, saudara-saudara suaminya beramai-ramai menggedor pintu rumah Ummu Syariek. Dengan wajah beringas penuh permusuhan, mereka menanyakan wanita itu.

'Apakah engkau telah memeluk Islam?

“Benar,”jawab Ummu Syariek tegas.

“Kalau begitu, tidak ada jalan lain, kami akan menyiksamu dengan siksaan yang keras!”

Dengan gagah berani, Ummu Syariek menegaskan, ia tak gentar oleh ancaman itu. Ia katakan pada begundal-begundal suku Dausy itu, apapun yang akan diancamkan pada dirinya, ia tak akan keluar dari keimanan-nya. Para begundal itu makin berang.

Setelah ancaman dan bujuk rayu mereka gagal, mereka menyeret wanita mu’minah itu, lalu memasukkannya kesebuah rumah kosong yang kotor bersama seekor unta yang penuh koreng. Bila matahari tengah terik membakar, wanita itu diseret keluar, lalu dipentangkan ditengah-tengah padang pasir. Selama dalam siksaan itu, tak setetes air pun diberikan kepadanya. Sembari menyiksa, para begundal itu terus memteror Ummu Syariek;

“Tinggalkan agama Muhammad!”.

Andai saja Ummu Syariek tidak bersikeras, rayu para penyiksa itu, niscaya ia akan dibebaskan dari siksa yang berat. Tapi apa sikap wanita mu’minah itu? ia selalu menunjuk-nunjuk jarinya keatas langit, membuat isyarat ahad [tauhid], sebagaimana yang dilakukan sahabat Bilal r.a. Bibir wanita tegar itupun , tak putus-putusnya bertakbir, bertahmid dan bertasbih Bertubi-tubi siksaan yang mendera-nya, begitu pula diiringi nya siksaan itu dengan kesibukan berdzikir kepada Allah. Boleh jadi, para penyiksanya sampai bosan dan lelah mendera wanita perkasa itu.

Kemudian merekapun memutuskan untuk meninggalkan wanita ‘pembangkang’ ituterpentang sendirian di tengah padang pasir yang tengah terik terbakar matahari. Ketika itulah terjadi suatu mu’jizat Robbani. Ummu Syariek sibuk berdzikir sembari menahan dahaga luar biasa. Tatkala ia sekonyong-konyong merasakan sebuah timba air yang datang menghampi-rinya. Ia pun meneguk air itu sepuas-puasnya, dan setelah itu timba itu menjauh darinya. Ummu Syariek menoleh ke arah mana datangnya timba itu.
Demikianlah, beberapa kali timba itu mendekat, dan Ummu Syariek merenguk sepuas-puasnya. Bahkan sekujur badannya disiramnya , hingga ia merasakan kenyang dan sejuk. Dan tatkala para begundal Dausy datang kembali,lalu mengetahui keadaan wanita itu, mereka pun terperanjat luar biasa.

“Dari mana kau peroleh air itu, hai musuh Allah?”.

“Musuh Allah...? sesungguhnya kalianlah musuh Allah, manusia-manusia yang membenci agama-Nya. Kalian tanya darimana air itu? Dari Allah. Dia memberi rizki kepada saya!”jawab Ummu Syureik gagah.

Mereka masih sangat tidak yakin atas keterangan wanita mu’minah itu. Segera gerombolan penyiksa itu menghampiri sumur yang ada di dekat situ, lantas mengamati timbanya. Ternyata timbanya masih di tempat semula tanpa berubah sama sekali. Berarti Ummu Syariek amat mustahil bisa mengambil air. Entah kenapa, menyaksikan kenyataan ini, para pegundal Dausy itu jadi tercenung. Segera saja tanpa komando, dari bibir salah seorang penyiksa itu terlontar ucapan :

“Sungguh...kami bersaksi bahwa Tuhanmu, Tuhanku pula, Tuhan yang mendatangkan rizki di tempatmu. Dialah yang menurunkan Islam.”

Sejak saat itu para penyiksanya menyatakan tobat, dan masuk Islam. Lalu mereka pun komitmen, menyatakan siap menjadi da’i dan pembela islam. Tercatat akhirnya dalam sejarah, seluruh keluarga Abul Akr memeluk Islam.

Ketegaran Ummu Syariek, adalah fenomena luar biasa yang baru pertama kali mereka saksikan. Tak mungkin sebuah keyakinan dipertahankan dengan sangat begitu gigihnya, kalau keyakinan itu palsu. Ketololan mereka pun akhirnya rontok oleh sebuah ketegaran Ummu Syariek. Wanita itu telah memberikan pelajaran pada mereka, betapa mahalnya harga sebuah Iman. Iman yang jujur adalah sebuah formulasi 'Robbany yang memadukan keyakinan total, kepasrahan sempurna, keberanian dan keistiqomahan” yang mampu melahirkan kekuatan tak terkalahkan. Hanya dengan iman yang jujur, kemungkaran apapun dan bagaimanapun bentuknya, pasti akan dapat dihancurkan dengan izin Allah. Dan Ummu Syariek telah membuktikan hal itu.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah, kemudian mereka tidak ragu-ragu. Dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang jujur [imannya]”. [Q.S. Al-Hujurat : 15].

Sumber : majalah Ummi No.10/ 1995M
Leia Mais...
0

Abdullah bin Zubeir

Selasa, 08 Juni 2010.
Abdullah bin Zubeir
TOKOH - Selasa, 14 Agustus 2001



Isu bahwa kaum muslimin tidak akan bisa melahirkan bayi karena telah diteluh oleh dukun-dukun Yahudi di Madinah, terjawab sudah. Seorang wanita mulia putri As Siddiq telah melahirkan kandungannya ketika beliau sedang hijrah dari Makkah ke Madinah menyusul teman-temannya seaqidah. Beliau tidak lain adalah Asma` binti Abi Bakar yang melahirkan bayi laki-laki-laki-laki di Quba` dan diberi nama Abdullah. Sebelum disusui Abdullah bin Zubeir dibawa menghadap Nabi SAW dan ditahniq dan didoa`kan oleh beliau.

Abdullah yang memang lahir dari pasangan mujahid dan mujahidah ini berkembang menjadi seorang pemuda pewira yang perkasa. Keperwiraannya dimedan laga ia buktikan ketika bersama mujahid-mujahid lainnya menggempur Afrika membebaskan mereka dari kesesatan. Pada waktu mengikuti ekspedisi tersebut usianya baru berkisar 17 tahun. Namun begitulah kehebatan sistem tarbiyah Islamiyah yang bisa mencetak pemuda belia menjadi tokoh-tokoh pejuang dalam menegakkan Islam.
Dalam peperangan tersebut jumlah personel diantara dua pasukan jauh tidak seimbang. Personel kaum muslimin hanya 120 ribu tentara sedangkan musuh berjumlah 120 ribu orang. Keadaan ini cukup membuat kaum muslimin kerepotan melawan gelombang musuh yang demikian banyak, walau hal itu tidak membuat mereka keder. Sebab bagi mereka perang adalah mencari kematian sedang ruhnya bisa membumbung menuju jannah sebagaimana yang telah dijanjikan Rabb mereka.

Melihat kondisi yang kurang menguntungkan tersebut segera Abdullah memutar otak mencari rahasia kekuatan lawan. Akhirnya ia menemukan jawaban, bahwa inti kekuatan musuh bertumpu pada raja Barbar yang menjadi panglima perang mereka. Segera dan dengan penuh keberanian ia mencoba menembus pasukan musuh yang berlapis-lapis menuju kearah panglima Barbar. Upayanya tidak sia-sia, ketika jarak antara dirinya dengan raja Barbar telah dekat segera ia tebaskan pedang nya menghabisi nyawa panglima kaum musyrik tersebut. Panji pasukan lawan pun direbut oleh teman-temannya dari tangan musuh. Dan ternyata dugaan Abdullah tidak meleset, segera setelah itu semangat tempur pasukan musuh redup dan tak lama kemudian mereka bertekuk lutut dihadapan para mujahid yang gagah berani.

Selain seorang jago perang, Abdullah juga seorang `abid yang penuh rasa khusuk dan ketawadhuan. Mujahis penah memberi kesaksian bahwa apabila Ibnu Zubeir sedang sholat, tubuhnya seperti batang pohon yang tak bergeming karena khusuknya dalam sholat. Bahkan Yahya bin Wahab juga bercerita bahwa apabila `Abdullah bin Zubeir ini sedang sujud, banyak burung-burung kecil bertengger dipunggung beliau karena mengira punggung tersebut adalah tembok yang kokoh. Tokoh yang tegas dalam kebenaran ini wafat pada usia 72 tahun terbunuh oleh tangan pendosa Hajjaj bin Yusuf.

[ dikembangkan dari Shifatu ash-Shofwah, juz 1,hal 344 ]

Wassalam
Leia Mais...
0

Pentingnya Waktu dan Tempat

Minggu, 06 Juni 2010.

Pentingnya Waktu dan Tempat


- Praktik sufi bag 8Tempat dan waktu sangatlah berpengaruh bagi praktik sufi
karena perbedaan tempat dan waktu akan menentukan
kondisi setempat
Guru spiritual sangat mementingkan tempat dan waktu yang khusus untuk meditasi, doa, dan praktik- praktik spiritual lainnya. Ada tempat-tempat tertentu yang mempunyai sifat-sifat alamiah yang dipengaruhi, misalnya, oleh medan magnet listrik dan kedekatan kepada bukit-bukit granit, sungai, atau sumber air lainnya. Ada banyak tempat di muka bumi ini di mana orang merasakan adanya daya tarik untuk berada disana. Juga ada tempat-tempat yang berdaya tolak, seperti, misalnya, dekat jalur listrik tegangan tinggi, yang menghalau kebanyakan hewan yang dapat merasakan getaran buruknya sehingga menjauhi pencemaran semacam itu, tidak seperti kebanyakan manusia yang tidak sepeka hewan.

Jelaslah, setiap tempat mempunyai energi atau ekosistem tertentu. Ada tempat-tempat tertentu di muka bumi yang mempunyai konsentrasi energi yang tinggi, seperti Mekah, Madinah, Yerusalem, dan makam para nabi zaman dahulu serta para wali, para syekh dan pemimpin spiritual, ke mana orang tertarik secara konstan. Apabila seseorang mengunjungi tempat-tempat itu, ia merasa bahwa suatu peristiwa besar pernah terjadi di sana, dan perasaan ini sering membantu dalam menyembuhkan hati dan meninggikan tingkat spiritual seseorang. Tempat-tempat itu banyak membantu apabila seseorang dibimbing dan dipersiapkan untuk mengangkat keadaannya.

Komentar yang sama juga berlaku pada waktu. Ada suatu hubungan penting, walaupun tak kentara, antara waktu dan musim yang berubah-ubah, fase-fase bulan, fluktuasi suhu, dan kondisi-kondisi perubahan lain yang berkaitan dengan waktu. Tak diragukan bahwa ada tendensi dan kecenderungan dalam lingkungan kosmik berkenaan dengan energi positif dan negatif yang mempengaruhi iklim bumi secara fisik maupun spiritual pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, tidak diketahui pada malam tertentu mana di bulan Ramadan terdapat lailatul qadr, tetapi menurut tradisi malam itu adalah tanggal 21 atau 23 atau 25 atau 27 atau 29 bulan Ramadan. Pada malam itu seakan-akan semua kekuatan kosmik yang sesuai terfokus bersama-sama dan diperbesar, dan seakan-akan tak ada katup spiritual di "langit" serta jauh lebih kondusif untuk duduk bermeditasi. Dzikrullah dan berjaga malam pada waktu seperti itu, di tempat seperti Mekah atau Madinah atau di makam seorang syekh sufi, lebih efektif daripada di waktu dan tempat lain.

Maka pengetahuan tentang waktu dan tempat merupakan bantuan penting ketika mengikuti praktik- praktik spiritual. Misalnya, dikatakan bahwa sepertiga malam bagian akhir, sebelum fajar, adalah salah satu waktu terbaik untuk zikir kepada Allah dan berdoa, dan bahwa tempat yang terbaik untuk praktik-praktik semacam itu adalah tempat yang bersih dan bebas dari perbuatan batil. Namun, apabila seseorang telah bertekad dan terbimbing dengan baik maka tempat dan waktu kurang penting baginya. Ketika Imam Ali ditanya, "Hari apa saja dalam setahun yang buruk?" ia menjawab, 'Janganlah menjadi musuh dari hari maka tak ada hari yang akan menjadi musuh Anda." Dari puncak tinggi kedudukan spiritualnya, ia tidak membeda-bedakan atau melihat perbedaan antara hari baik dan hari buruk. la semata-mata hanya menyaksikan rahmat dan cinta Allah sepanjang waktu, di mana pun, walaupun ia berada dalam keadaan sedang ditetak oleh pedang pembunuh ketika sujud di hadapan Allah Yang Maha Esa, yang melampaui waktu dan tempat.

Imam yang sudah tercerahkan melihat seluruh kosmos dalam hatinya. la memandang hatinya sebagai rumah suci penyembahan kepada Allah di pusat kosmos. la melihat jejak-jejak Allah pada setiap waktu. Namun, bagi orang awam, dalam urusan spiritual, nampak seakan-akan Allah lebih hadir pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu ketimbang di waktu atau tempat lain.

Tujuan akhir dari semua praktik sufi yang sejati ialah menyadari hakikat-hakikat yang tak terbatas ketika hakikat terungkap dengan caranya sendiri yang alami di dalam setiap hati. Percikan-percikan cahaya yang memancar dari dalam tak terhitung banyaknya dan tak terbatas dalam kombinasi dan perubahannya, meliputi segala sifat, namun hakikatnya adalah satu. Sufi sejati tak akan berhenti sampai ia mapan dalam pengetahuan tentang hakikat, dan apabila ini terjadi, semua cahaya, manifestasi dan sifat-sifat mulia lainnya memudar dalam gemerlapnya cahaya kebangunan batin. Leia Mais...
0

Tujuan Praktik Sufi


Tujuan Praktik Sufi

- Praktik sufi bag 5Praktik - praktik yang dilakukan
untuk kemajuan islam
Tujuan utama dari praktik-praktik sufi adalah pemulihan keutuhan diri manusia. Oleh karena itu para syekh sufi memberikan obat yang berbeda-beda kepada para pengikutnya dalam bentuk berbagai jenis praktik dengan intensitas yang berlainan sesuai dengan jenis penyakit yang diobati. Ternyata setiap tarekat sufi mempunyai doa khususnya sendiri, wirid dan zikirnya sendiri, dan upacara serta metode duduk dan berdirinya sendiri. Sebagaimana praktik-praktik yang djlakukan secara kolektif, guru sufi sering memberikan obat khusus bagi individu tertentu, misalnya, apabila salah seseorang muridnya sakit atau membutuhkan pengobatan khusus, seperti periode jaga malam atau bangun malam yang padat. Apa pun perbedaan mereka yang nampak, satu unsur yang umum kita dapati pada semua tarekat ialah hubungan yang mendalam antara syekh sufi dengan muridnya. Hubungan itu didasarkan pada kepercayaan, cinta dan ketaatan kepada si syekh. Dikatakan bahwa pengikut terbaik itu bagaikan kain lap di tangan tukang cuci. Melalui kepasrahan dan ketaatan seperti itulah maka makna ajaran sang guru itu terserap dengan cepat.

Kita dapati pula dalam banyak lingkungan tarekat bahwa karena cinta dan hormat kepada gurunya, para pengikut bahkan meniru kebiasaan lahiriah dan pakaian guru mereka. Namun, kadang-kadang peniruan ini dilakukan secara ekstrem sehingga kehilangan maknanya dan lebih menjadi tiruan lahiriah yang kosong, yang tak ada manfaatnya, ketimbang menjadi tanda kesatuan atas dasar kesamaan satu sama lain.

Suatu contoh dari peniruan ekstrem ini nampak dalam kasus seorang guru yang, karena kondisi giginya yang buruk, kalau makan selalu bunyi mencapak-capak. Para muridnya, tanpa menyelidiki alasan dari kebiasaan itu, dengan bodoh menirunya. Imam Ja'far Shadiq tak pernah menggunakan siwak untuk membersihkan gigi-nya selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Beberapa pengikutnya berpikir bahwa ia telah menemukan cara baru untuk memelihara kebersihan gigi tanpa menggunakan siwak, walaupun ini suatu kebiasaan yang disenangi Nabi Muhammad, dan yang ingin ditiru oleh semua pengikutnya. Imam Ja'far mengatakan kepada mereka bahwa giginya telah demikian lemah sehingga apabila ia menggunakan siwak, maka akan lebih rusak. Yang penting ialah hubungan antara guru dan murid, karena dengan begitu keadaan si murid akan terangkat ke keadaan si guru.

Perhatian utama seorang sufi ialah bagaimana terlepas dari hal-hal fana yang menghalangi seseorang dari kemajuan spiritual. Agar seseorang tidak terus dihalangi oleh aspek kehidupan duniawi, ia memerlukan suatu cara untuk mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal duniawi itu. Berbagai doa, maupun perhatian yang terkonsentrasi yang hanya diarahkan kepada satu asma atau sifat Ilahi tertentu, atau bentuk zikir lainnya yang sesuai, dapat menyempitkan proses pemikiran dan menyalurkan energi. Jelaslah, mengulang-ulang suatu bunyi khusus dapat membantu usaha mencapai pemusatan ke satu titik. Praktik pemusatan ke satu titik itulah yang memungkinkan seseorang untuk tidak begitu terganggu perhatiannya. Pemusatan ke satu titik adalah suatu keadaan yang demikian didambakan oleh manusia sehingga kita dapati banyak kegiatan rekreasi, hobi, olah raga, dan tentu saja semua usaha ilmiah dan penelitian, terpusat padanya. Dengan mengikuti gerakan bola golf, perhatian orang tidak terganggu oleh peristiwa lain di sekitarnya sehingga pikirannya tidak langsung bingung dan ruwet.

Demikian pula, apabila seorang sufi mengulang-ulang kalimat la ilaha illallah, yang berati "tak ada tuhan selain Allah", maka pikirannya secara berangsur-angsur disapu bersih. Komputer pikirannya dibersihkan. Pikiran manusia cocok benar bila dipanggil untuk berurusan dengan hal-hal yang besifat alami, kausal atau eksistensial. Sebab persoalan tersebut sangat kondusif untuk pemikiran rasional atau logis dan harus bebas dari berbagai pertimbangan psikologis atau emosional yang berlebihan, yang cenderung memacetkannya. Jadi, tujuan dari mengingat Allah (zikir) ialah untuk membersihkan pikiran secara psikologis. Yakni membebaskannya dari doktrin serta membersihkan filter-filternya. Ada macam-macam bentuk zikir untuk jenis penyakit, orang, keadaan, waktu, dan kondisi yang berbeda-beda.

Sebagai sarana untuk sampai kepada konsentrasi tunggal, penyebutan sifat-sifat Allah adalah penting. Sifat-sifat seperti ar-Rahman (Penyayang) , ash-Shabur (Sabar) , al-Khaliq (Pencipta) , ar-Razaq (Pemberi Rezeki) , al-Lathif(Maha halus), al-Wadud (Cinta), as-Salam (Damai), dan seterusnya, secara berulang-ulang disebut dan diseru, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan seseorang. Kata Allah yang menunjukkan esensi realitas juga sering disebut-sebut Kedua sifat, Yang Hidup dan Yang Abadi ( al-Hayyu al-Qayyum), bunyinya sangat mirip dengan seruan AUM dalam bahasa Sansakerta ketika disebutkan berbarengan. Tak diragukan bahwa mengalunkan asma dan sifat-sifat Ilahi ini sangat banyak menolong dalam menimbulkan keadaan terpusat dan tenteram pikiran yang didambakan.

praktik-praktik dan zikir ini membantu semua level, tetapi sebaiknya dilakukan oleh guru spiritual. Memungut secara sembarangan dan mengulang-ulang beberapa zikir atau praktik sufi yang pernah dibaca atau didengar, bisa saja mendatangkan efek-efek yang bermanfaat, tetapi tidak bernilai langgeng. Lagi pula tak ada pengganti bagi kearifan dan pengetahuan serta pendampingan dari seorang guro spiritual yang sebenarnya.

Ada cerita tentang seorang kolektor barang antik yang menemukan sebuah naskah kuno dalam bahasa Arab. Di dalamnya terdapat resep untuk mengobati berbagai penyakit lever. di antara petunjuknya menyatakan bahwa seekor ular hitam harus digiling dan dicampur dengan ramuan-ramuan lainnya. Maka si kolektor barang antik itu mencari ular hitam, meracik obatnya, lalu menunggu orang kaya yang menderita penyakit hati. Ketika seorang pangeran muda terkena hepatitis, dokter yang mengangkat diri sendiri itu segera ke istana raja dengan ramuan rahasianya. Dalam satu hari pangeran itu mati dan si kolektor barang antik pun dipenjarakan seumur hidup.

Bagi orang awam, kata ular dan benih dalam bahasa Arab nampak sama, karena tertulis hampir secara identik kecuali tidak adanya satu titik. yang sangat penting adalah bahwa resep itu harus datang dari orang yang tepat Guru spiritual yang sejati, apabila ia baik, ikhlas dan dalam ketundukan, akan memberikan kepada muridnya obat yang spesifik dengan cara yang spesifik. Kira-kira seperti menginstruksikan kepada seseorang tentang di mana mendapatkan harta terpendam. Pengarahan yang tepat dan jumlah langkah yang tepat yang harus dilakukan mutlak harus diikuti; kalau tidak maka pencari yang penuh gairah tetapi sembrono mungkin memutuskan untuk menambah sendiri beberapa langkah dan sama sekali gagal mendapatkan harta itu.

Pendekatan yang sama berlaku pada instruksi-instruksi yang diberikan oleh guru spiritual mengenai berbagai bentuk zikir, salat, dan doa. Adakalanya, kita mendapat resep spiritual dari orang yang tak memenuhi syarat dan percaya takhayul dengan maksud baik, tetapi hasilnya tidak efektif atau hanya berlangsung sementara.

Tetapi, tak diragukan bahwa setiap meditasi atau pujian kepada Tuhan dan zikir itu secara spiritual bermanfaat Kira-kira seperti meminum tonikum umum yang menolong setiap orang, apa pun keluhannya. Namun, dalam hal penyakit yang akut atau khronis, tonikum hanya membawa kelegaan sementara dan terbatas, dan pelayanan seorang dokter yang cakap diperlukan. Berbagai bentuk zikrullah dari setiap tarekat sufi adalah bermanfaat. Setiap zikir yang datang dari guru spiritual sejati membawa manfaat, sekalipun tidak diresepkan khusus bagi orang yang melakukannya, tetapi bilamana suatu bentuk zikrullah diresepkan oleh guru rohani secara individual, dan disalurkan dari hati ke hati, maka suatu langkah efektif ke arah kebebasan telah ditempuh. back
Leia Mais...
THAKS FOR U ATTENTION
 
Santri Pesisir © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |