BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK
KELOMPOK-KELOMPOK MANUSIA DALAM BERPUASA
KELOMPOK-KELOMPOK MANUSIA DALAM BERPUASA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]
PARA UTUSAN SAMA HUKUMNYA DENGAN MUSAFIR WALAU UNTUK BEBERAPA TAHUN
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin dita : Kami termasuk kelompok yg diutus ke suatu negeri. Di antara kami ada yg diutus untuk satu tahun dan ada pula yg dua, tiga bahkan empat tahun. Maka ketika berpuasa, berlakukah untuk kami hukum yg sedang dalam perjalanan.?
Jawaban.
Hal diatas termasuk masalah yg diperselisihkan para cendekiawan dan ulama jumhur. Empat imam madzhab berpendpt bahwa mereka berkedudukan sebagai orang yg berada di tempat sendiri (muqimin), yakni tak berlaku hukum musafir, mereka wajib berpuasa sebagaimana mestinya, tak boleh mengqashar shalat dan tak boleh menyapu kedua sepatu selama tiga hari bahkan satu hari sekalipun. Sedangkan sebagian ulama menganggap mereka berada pada hukum orang yg sedang dalam perjalanan (musafir). Pedpt inilah yg dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid Ibnul Qayyim dgn memegang zahir nas yg tdk menentukan jarak tempuh suatu perjalanan.
Konon Ibnu Umar sempat bermukim selama enam bulan di Azerbeizan dan selama itu beliau mengqashar shalatnya. Pendpt ini jelas paling kuat. Tetapi siapa yg kesulitan namun ia tetap memegang pendpt jumhur, maka bagi tak jadi masalah. Inilah menurut pendpt kami dan Ibnu Taimiyyah.
ORANG ASING YANG TIDAK BERNIAT MUKIM SAMA KEDUDUKANNYA DENGAN MUSAFIR. PUASA WAJIB BAGI MEREKA YANG BERNIAT MUKIM SELAMANYA DI NEGERI ORANG.
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin dita :Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta alam, Dia-lah yg berhak dipuji krn kemualian-Nya dan keagungan-Nya. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad benar-benar hamba-Nya dan Rasul-Nya. Kedamaian dan keselamatan semoga dilimpahkan kpd para keluarganya, sahabat serta para pengikutnya.
Dalam majalah al-Muslimin terbitan hari Sabtu, 28 Sya’ban 1405H terdpt jawaban singkat tentang keringanan (rukhsah) bagi mereka yg diutus ke suatu negeri. Dari jawaban tersebut diterangkan bahwa mereka sama dgn musafir, yakni mereka berhak melakukan qashar shalat, berbuka puasa dan menyapu sepatu selama tiga hari. Karena jawaban tersebut terlalu singkat, maka saya dipinta oleh kawan-kawan untuk menyajikan lebih luas. Maka dgn memohon taufik dan hidayah Allah, saya kabulkan permintaan tersebut.
Orang yg meninggalkan negeri ada tiga macam :
[1] Berniat untuk menetap di negeri yg disinggahi dgn tanpa waktu dan tujuan tertentu yg pasti, seperti yg dilakukan para pekerja, para pedagang atau lainnya. Maka bagi mereka berlaku hukum yg sama dgn penduduk setempat ; wajib puasa di Ramadhan, tak boleh qashar shalat dan ha berhak menyapu kedua sepatu sehari semalam saja.
[2] Berniat untuk bermukim dalam waktu dan tujuan tertentu namun tak diketahui pasti kapan mereka akan pulang ke negerinya, contoh seperti para pedagang yg datang dan pergi untuk membeli barang atau para peneliti pemerintahan yg tak diketahui kapan berakhir tujuan mereka hingga kembali ke negeri masing-masing. Maka mereka termasuk kelompok musafir, boleh berbuka puasa, qashar shalat dan menyapu kedua sepatu selama tiga hari walau perjalanan tersebut beberapa tahun lamannya. Inilah pendpt jumhur ulama bahkan menurut Ibnu Mundhir termasuk ijma’.
[3] Berniat untuk bermukim dalam waktu dan tujuan tertentu yg diketahui pasti masa berakhir untuk pulang ke negeri masing-masing, maka status mereka yg demikian itu masih diperselisihkan ulama. Pendpt terkenal dari madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa jika niat mukim lebih dari empat hari, maka shalat tetap hrs dilakukan sebagaimana mestinya. Jika niat mukim kurang dari empat hari, maka shalat boleh di qashar. Menurut penyusun kitab al-Mughni (Jld. II, hal. 288) pendpt tersebut berasal dari Imam Malik, As-Syafi’i dan Abu Tsur. Konon pendpt ini diterima dari Utsman bin Affan.
Al-Tsaury dan para pemikir (ashab al-ra’y) berpendpt bahwa jika seseorang niat bermukim selama 15 hari mulai dari hari pertama, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Dan jika kurang dari 15 hari, maka shalat boleh diqashar. Disamping itu, masih ada beberapa pendpt sebagaimana dikemukakan oleh An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzhab (Jld. IV, hal 220) sebanyak sepuluh pendpt yg saling bertentangan namun tak ada nas yg dpt menentukannya. Oleh krn itu, Syaikh Ibnu Taimiyyah dan murid Ibnul Qayyim berpendpt bahwa mereka bersetatus sebagai musafir dan berhak untuk berbuka puasa, qashar shalat dan menyapu kedua sepatu selama tiga hari (Lihat Majmu al-Fatawa, Jam’u Ibnu Qasim, hal. 137-138,184, jld 24, al-Ikhtiyarat, hal. 73; Zadul Maad, Ibnul Qayyim, hal. 29, III, tentang perang Tabuk. Dalam al-Furu’ Ibnu Muflih, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah, setelah mengemukakan silang pendpt, mengatakan jika seseorang beniat mukim lebih dari empat hari, maka menurut Syaikhuna dan yg lainnya, ia dipandang sebagai musafir dan berhak atas qashar dan berbuka bila belum pasti untuk bermukim umpama ha untuk berbuang hajat. Terjadi pendpt ini dipilih oleh Syaikh Abdullah bin Syaikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahhab pada kitab al-Durar al-Saniyyah, IV, hal, 372-375. Juga dipilih oleh Muhammad Rasyid Ridla, jld III, hal. 1180 dalam Fatawa al-Manar ; oleh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’ady, hal. 47 dalam al-Mukhtayarat al-Jaliyyah. Pendpt ini termasuk pendpt yg paling tepat bagi yg memperhatikan nas Kitab dan al-Sunnah. Yakni mereka boleh berbuka puasa dan qadla, seperti yg berlaku bagi orang macam kedua di atas, tetapi berpuasa labih baik bagi jika tdk ada kesulitan. Namun tak patut qadla diakhirkan sampai tiba Ramadhan berikutnya, sebab akan sulit melaksanakannya. Sedangkan perbedaan kelompok ini (ketiga) dgn kelompok pertama, bahwa kelompok ini bermukim dgn tujuan tertentu. Maka mereka hrs menunggu sampai waktu yg ditentukan dan jangan berniat mukim tanpa batas waktu (mutlak) bahkan mereka hrs menolak untuk shalat sebagaimana mesti (tetap hrs qashar) bila tujuan tercapai lebih dulu dari waktu dan mereka hrs tetap berada di tempat mukim hingga batas waktu. Sedangkan macam kelompok pertama, bermukim tanpa batas waktu tertentu, maka mereka hendak tetap berada di tempat mukim tak perlu menunggu sesuatu kecuali jika terkena peraturan tertentu. Dalam hal ini Allah Yang Maha mengetahui. Barangsiapa yg telah mendpt kejelasan atas pendpt yg terkuat lalu mengamalkannya, maka ia benar. Begitu pula siapa yg belum mendpt keterangan yg terkuat namun tetap memegang pendpt jumhur, maka iapun benar, sebab masalah ini termasuk persoalan ijtihad, di mana hasil tetap dihargai ; jika benar mendpt dua pahala dan jika keliru mendpt satu pahala. Keliru itupun diampuni Allah :
“Arti : Allah tdk membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya” [Al-Baqarah : 286]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Arti : Jika seorang hakim berijtihad dalam menetapkan hukum dan ternyata benar, maka ia mendpt dua pahala dan jika keliru maka mendpt satu pahala”.
Kami mohon kpd Allah semoga kami diberi taufik untuk mencapai kebenaran dalam aqidah, perkataan dan peruntukan, sebab Dialah Yang Maha Pemurah dan Maha Mulia. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kpd Nabi kita, Muhammad, kpd keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku 257 Ta Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 186-191, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comentários:
Posting Komentar