Sejarah Istana Amantubillah, Kesultanan Mempawah, Kalimantan Barat.
Sejarah Kesultanan Mempawah dapat ditelusuri melalui dua periodeisasi, yaitu periode Kerajaan Mempawah Dayak Hindu dan Kesutanan Mempawah Islam. Di antara dua periodeisasi ini, terdapat masa vakum yang cukup lama dari satu periode ke periode yang lain. Berikut ini adalah sejarah Kesultanan Mempawah berdasarkan dua periodeisasi itu.
1. 1. Masa Kerajaan Mempawah Dayak Hindu
Letak geografis Kesultanan Mempawah sekarang ini--yang masih kita nikmati peninggalan-peninggalan bersejarahnya--berbeda dengan ketika Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri. Pada masa itu, Mempawah merupakan kerajaan Suku Dayak yang berkedudukan di dekat pegunungan Sidiniang, Sangkling, Mempawah Hulu. Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1380 M, dipimpin oleh seorang patih bernama Patih Gumantar. Menurut sejumlah sumber, pada saat yang bersamaan, telah berdiri kerajaan Dayak lainnya, yaitu Kerajaan Bangkule Rajakng dengan rajanya Ne‘Rumaga. Namun, menurut sumber lain, Kerajaan Bangkule Rajakng tiada lain merupakan Kerajaan Mempawah Dayak itu sendiri dan dipimpin oleh Patih Gumantar. Ada lagi sumber lain yang menyebutkan bahwa kerajaan pimpinan Patih Gumantar itu merupakan pecahan dari Kerajaan Matan/Tanjungpura.
Patih Gumantar pernah berkomunikasi dengan Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit. Patih Gumantar mengajak Patih Gajahmada untuk berkunjung ke Mempawah dengan tujuan bersama, yaitu menyatukan Nusantara. Diperkirakan, Patih Gajahmada berkunjung ke Mempawah setelah lawatannya ke Kerajaan Muang Thai dalam rangka membendung serangan Kerajaan Mongol. Sebagai bukti kunjungan Gajahmada ke Mempawah adalah Keris Susuhan yang hingga kini masih tersimpan rapi di kawasan Istana Mempawah.
Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung merasa iri dengan kejayaan Mempawah saat itu. Pada sekitar tahun 1400-an M, terjadilah perang “kayau-mengayau”, yaitu tradisi pemenggalan kepala manusia bagi orang Dayak. Patih Gumantar yang dikenal gagah berani dapat dikalahkan karena diserang secara mendadak. Kepalanya di-kayau oleh orang-orang Suku Bidayuh. Patih Gumantar memiliki tiga anak, yaitu Patih Nyabakng, Patih Janakng, dan Putri Dara Hitam. Sejak sepeninggalan Patih Gumantar, Mempawah mengalami masa kemunduran.
Sekitar dua ratus tahun kemudian (tahun 1610 M), Mempawah kembali bangkit. Tampil sebagai pemimpin baru adalah Panembahan Kudong/Kudung atau juga disebut Panembahan Yang Tidak Berpusat. Raja Kudong memindahkan pusat ibu kota Mempawah ke Pekana (Karangan).
Setelah Raja Kudong meninggal pada tahun 1680 M, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Panembahan Senggauk. Pada masa pemerintahan ini, pusat ibu kota dipindahkan dari Pekana ke Senggauk, hulu Sungai Mempawah. Panembahan Senggauk menikah dengan putri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri Sumatra, yang bernama Putri Cermin. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Mas Indrawati. Ketika usia Mas Indrawati telah beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Panembahan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari hasil perkawinan ini, lahirlah seorang putri cantik bernama Putri Kesumba. Ketika dewasa, Putri Kesumba dinikahkan dengan Opu Daeng Menambun.
Sebagai informasi, Opu Daeng Menambun merupakan keturunan (cucu) dari Raja La Madusalat yang memerintah Kerajaan Luwu (kini terletak di Provinsi Sulawesi Selatan) pada awal abad ke-18. Raja La Madusalat memiliki tiga putra, yaitu:
1. Pajung (pernah memerintah di Kerajaan Luwuk).
2. Opu Daeng Biasa (pernah menjadi pemimpin Suku Bugis di Betawi).
3. Opu Daeng Rilekke, yang dikenal sebagai pelaut pemberani dan suka
mengembara ke berbagai daerah dengan mengikutsertakan putra-putrinya. Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Opu Daeng Kemasih, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Celak, dan Opu Daeng Melewa.
Dengan demikian, Opu Daeng Menambun sebenarnya bukan orang Kalimantan asli, namun sebagai perantau dari Sulawesi Selatan dan keturunan Suku Bugis. Sejak dulu keturunan La Madusalat dikenal sebagai pelaut-pelaut yang sangat ulung dan pemberani. Mereka merantau ke berbagai penjuru Nusantara dengan mengarungi laut-laut yang begitu luas, dengan tujuan Banjarmasin, Betawi, Johor, Riau, Semenanjung Melayu, hingga akhirnya tiba di Tanjungputa (Matan).
Ketika dalam masa perantauannya, kelima anak Opu Daeng Rilekke dikenal banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang sedang dalam kesulitan. Hal itu terbukti ketika terjadi perang saudara di dalam Kesultanan Matan/Tanjungpura, di mana Panembahan Muhammad Zainuddin dibuang ke Banjar oleh adiknya, Pangeran Agung. Kelima bersaudara tersebut membantu Panembahan Muhammad Zainuddin untuk mengambilalih kekuasaan yang sempat jatuh. Sebagai hadiahnya, Opu Daeng Menambun dinikahkan dengan Putri Kesumba. Mereka berdua kemudian dikaruniai sepuluh orang putra-putri, dua di antaranya adalah Gusti Jamiril dan Utin Candramidi.
1. 2. Masa Kesultanan Mempawah Islam
Setelah bertahun-tahun menetap di Matan, Opu Daeng Menambun beserta keluarganya pindah ke Mempawah. Ketika Panembahan Senggauk meninggal pada tahun 1740 M, Opu Daeng Menambun naik tahta kekuasaan Mempawah dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara. Opu Daeng Menambun memindahkan pusat kerajaan ke Sebukit Rama (kira-kira 10 km) dari Kota Mempawah.
Masa pemerintahan Opu Daeng Menambun merupakan masa di mana Kesultanan Mempawah Islam mulai berdiri dan kemudian berkembang. Pada masanya, penduduk Mempawah dikenal sebagai penganut Islam yang sangat taat. Opu Daeng Menambun sendiri dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan lebih mementingkan musyawarah dalam memutuskan berbagai kebijakan kesultanan.
Habib Husein Alkadrie, ulama terkenal asal Kalimantan Barat, pernah pindah dari Matan ke Mempawah. Salah seorang putri Opu Daeng Menambun, Utin Candramidi dinikahkan dengan Sultan Syarif Abdurrahman (Sultan I di Kesultanan Kadriah), putra Habib Husein Alkadrie.
Opu Daeng Menambun meninggal pada tahun 1766 M. Ia digantikan oleh putranya, Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusuma Jaya. Panembahan Adiwijaya dikenal sebagai pemimpin yang sangat anti terhadap kolonialisme Belanda. Ia dikenal dengan sumpahnya bahwa bila suatu saat nanti ia meninggal, jasadnya haram untuk dimakamkan di tanah yang pernah diinjak oleh Belanda. Dengan dibantu oleh kedua putranya, Gusti Mas dan Gusti Jati, ia memimpin Kesultanan Mempawah untuk melawan Belanda.
Di masa pemerintahan Panembahan Adiwijaya, Kesultanan Mempawah mengalami masa keemasannya. Hal itu sangat didukung oleh kepiawaiannya dalam memimpin Mempawah. Meski demikian, ia selalu mendapat tantangan dari Belanda yang tidak henti-hentinya merongrong kekuasaannya. Bahkan, Belanda pernah mengirimkan ratusan pasukannya yang ada di Pontianak untuk menyerang Mempawah. Melihat situasi yang amat berbahaya ini, Panembahan Adiwijaya akhirnya memindahkan pusat pemerintahan Mempawah dari Sebukit Rama ke Sunga (Karangan). Meski demikian, ia masih terus melakukan perlawanan kepada Belanda.
Pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya meninggal. Saat itu, sempat terjadi kekosongan kepemimpinan. Kondisi ini dimanfaatkan Belanda untuk melakukan intervensi lebih jauh ke dalam pemerintahan Mempawah, yaitu dengan mengangkat Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah. Namun, kepemimpinan Syarif Kasim tidak bertahan lama karena ia harus memimpin Kesultanan Kadriah, menggantikan ayahnya, Sutan Syarif Abdurrahman. Kursi kepemimpinan kemudian diisi oleh adik Syarif Kasim, Syarif Husein. Lagi-lagi, kepemimpinan “bentukan” Belanda ini berlangsung sebentar karena Gusti Jati dengan dibantu saudaranya, Gusti Mas, mampu mengalahkan pemerintahan bentukan penjajah tersebut.
Akhirnya pada tahun 1820 M, Gusti Jati diangkat sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Pada masa pemerintahan ini, Mempawah dikenal sebagai pusat perdagangan dan pertahanan. Gusti Jati memindahkan pusat pemerintahan Mempawah ke Pulau Pedalaman, daerah bekas pendudukan Belanda. Sebagai informasi, nama ibu kota pemerintahan (Mempawah) awalnya diambil dari nama sebuah pohon Mempawah yang banyak tumbuh di sekitar kesultanan.
Gusti Jati pernah diserang oleh Sultan Syarif Kasim dari Kesultanan Kadriah. Karena mendapat serangan yang cukup kuat, akhirnya Gusti Jati mundur ke Kerajaan Mempawah yang lama. Kekosongan kepemimpinan ini dimanfaatkan oleh Belanda dengan mengangkat Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (tahun 1831-1839 M).
Setelah Gusti Amin wafat, kepemimpinan di Mempawah banyak dikuasai (dikendalikan) oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengangkat beberapa sultan, yaitu: Gusti Mukmin, putra Gusti Amin, dengan gelar gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839-1872 M); Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Mahmud Alauddin (tidak diketahui datanya); dan Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma (tidak diketahui datanya). Setelah Panembahan Usman meninggal, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh anak Panembahan Muda Mahmud, yaitu Gusti Ibrahim dengan gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872-1887 M). Pada masa pemerintahan ini, Belanda kembali melakukan kekerasan kepada rakyat Mempawah, misalnya memaksa mereka untuk membayar pajak. Ketika itu, sempat terjadi Perang Sangking sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda.
Panembahan Ibrahim meninggal pada tahun 1887 M. Tahta kekuasaan seharusnya beralih kepada putra mahkota Gusti Muhammad Taufik Accamuddin, namun karena belum dewasa akhirnya diserahkan secara sementara kepada Gusti Intan atau Pangeran Ratu Suri dengan gelar Panembahan Anom Kesuma Yuda (1887-1902 M). Pada tahun 1902 M, tahta kekuasaan kemudian dipegang kembali oleh Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin, yang memerintah selama lebih dari 40 tahun.
Panembahan Muhammad Taufik menikah dengan Ratu Mutiara, putri Sultan Sambas. Mereka dikaruniai dua orang putra-putri, yaitu Utin Ketumbar dan Pangeran Ukar (keduanya meninggal ketika masih kecil). Panembahan Muhammad Taufik menikah lagi dengan Encek Kamariyah yang bergelar Ratu Mas Sri Utama. Dari hasil perkawinan keduanya, ia memiliki empat orang putra-putri, yaitu: Pangeran Muhammad (Drs. H. Jimmy Mohammad Ibrahim), Pangeran Faisal Taufik, Pangeran Taufikiah, dan Pangeran Abdullah.
Pada tahun 1944 M, Panembahan Muhammad Taufik ditangkap oleh Jepang. Ia ditangkap bersama-sama dengan sejumlah raja dan pemuka masyarakat dari daerah lain. Mereka ditangkap karena dituduh melakukan pemberontakan terhadap rezim pemerintah “bala bantuan tentara Jepang”. Lebih dari 21.037 orang telah menjadi korban. Semenjak ditangkap, ia tidak diketahui keberadaannya lagi. Karena kekosongan kepemimpinan, pihak Jepang kemudian membentuk Bestuur Komisi sebagai pengganti sultan. Ketika itu, yang terpilih adalah Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946 M).
Sebelum pasukan sekutu tiba di Kalimantan Barat, Pangeran Muhammad sebenarnya telah diangkat oleh pihak Jepang sebagai tokoh (Panembahan) Mempawah, meski usianya baru 13 tahun. Ketika datang ke Kalbar pada tahun 1946 M, pihak Belanda pernah berusaha ingin menobatkan Pangeran Muhammad sebagai Panembahan Mempawah yang kedua kalinya. Namun, Pangeran Muhammad tidak mau karena ia masih ingin melanjutkan sekolahnya--ketika itu masih di bangku kelas V Jokio Ko Gakko (setingkat sekolah dasar). Pihak Belanda akhirnya mengangkat Gusti Musta‘an sebagai Wakil Panembahan hingga tahun 1975 M. Setelah beranjak dewasa, Pangeran Muhammad tetap tidak mau diangkat sebagai Sultan Mempawah. Dengan tekad yang sama, ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Yogyakarta. Dengan tidak adanya keturunan Panembahan Muhammad Taufik yang naik tahta kekuasaan, maka sejarah Kesultanan Mempawah boleh dibilang terhenti di sini.
2. Silsilah
Berikut ini adalah daftar para penguasa di Kesultanan Mempawah, yang dirunut sejak periode Kerajaan Mempawah Dayak Hindu:
1. Patih Gumantar (1380-1400-an M)
2. Panembahan Kodong (1610-1680 M)
3. Panembahan Senggauk (1680-1740 M)
4. Opu Daeng Menambun (1740-1766 M)
5. Panembahan Adi Wijaya Kesuma (1766-1790 M)
6. Gusti Jati atau Sultan Muhammad Zainal Abidin (1820-1831 M)
7. Gusti Amin atau Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831-1839 M)
8. Gusti Mukmin atau Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839-1872 M)
9. Gusti Makhmud atau Panembahan Muda Mahmud Alauddin (tidak diketahui datanya)
10. Gusti Usman atau Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma (tidak diketahui datanya)
11. Gusti Ibrahim atau Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872-1887 M)
12. Gusti Intan atau Panembahan Anom Kesuma Yuda (1887-1902 M)
13. Gusti Muhammad Taufik atau Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin (1902-1944 M)
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan Mempawah telah berdiri selama hampir 6 abad, yaitu sejak tahun 1380 hingga tahun 1944 M. Selama masa sejarah yang sangat panjang ini, pusat (ibu kota) kesultanan telah mengalami lima kali masa perpindahan, yaitu Pengunungan Sidiniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.
Sultan atau raja yang pernah berkuasa dibagi berdasarkan dua periodeisasi, yaitu zaman Hindu (Kerajaan Mempawah Dayak) dan zaman Islam (Kesultanan Mempawah Islam). Yang berkuasa di zaman Hindu adalah Patih Gumantar (pusat kekuasaannya di Pegunungan Sidiniang), Panembahan Kodong (Pekana), Panembahan Senggauk (Senggauk). Sedangkan yang memerintah di zaman Islam adalah Opu Daeng Menambun, Panembahan Adi Wijaya Kesuma, Gusti Jati atau Sultan Muhammad Zainal Abidin, Gusti Amin atau Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin, Gusti Mukmin atau Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma, Gusti Makhmud atau Panembahan Muda Mahmud Alauddin, Gusti Usman atau Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma, Gusti Ibrahim atau Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, Gusti Intan atau Panembahan Anom Kesuma Yuda, Gusti Muhammad Taufik atau Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin.
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa kini, Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak, yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak (jarak antara Mempawah dan Pontianak adalah sekitar 67 km). Mempawah memiliki 16 kecamatan, yaitu Mempawah Hilir, Sungai Kunyit, Sungai Pinyuh, Siantan, Sungai Ambawang, Kuala Mandor B, Sungai Raya, Sungai Kakap, Kubu, Terentang, Batu Ampar Kubu, Rasu Jaya, Segedong, Anjongan, Sadaniang, dan Mempawah Timur.
5. Struktur Pemerintahan
Dalam proses pengumpulan data
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pontianak pada tahun 2000, jumlah penduduk Mempawah adalah 624.866 jiwa. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan. Para petani biasanya mengembangkan pertanian padi dan palawija serta perkebunan karet dan kelapa. Sedangkan para nelayan ada yang memiliki alat tangkap sendiri dan ada pula yang menjadi buruh tangkap.
Di masa lalu, Kesultanan Mempawah pernah mengadakan interaksi dengan kerajaan atau kesultanan lain di Nusantara. Berawal dari hubungan dagang, lama-kelamaan berimbas pada terjadinya interaksi kebudayaan yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan yang berkembang di Mempawah ternyata banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain (luar). Secara umum, kebudayaan luar yang mempengaruhi kebudayaan Mempawah berasal dari tanah Bugis, tempat kelahiran Opu Daeng Menambun.
Salah satu bentuk budaya yang berkembang dan masih dipertahankan di Istana Mempawah adalah upacara Robo-robo. Upacara ini diadakan setiap setahun sekali, yaitu pada hari Rabu terakhir di Bulan Safar. Upacara ini dilakukan pada Bulan Safar karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, malam Safar adalah malam di mana banyak terjadi bala dan kesialan bagi umat manusia.
Bagi masyarakat setempat, upacara ini memiliki nilai historis, religius, dan magis. Secara historis, upacara ini memiliki keterkaitan dengan kedatangan Opu Daeng Menambun pertama kali di Mempawah serta hari-hari terakhir hidupnya. Upacara ini juga memiliki nilai religius karena sebagai bentuk permohonan dan doa kepada Tuhan YME agar mereka terhindar dari bala dan bahaya. Bersifat magis, karena upacara ini juga mengandung doa dan sesembahan kepada arwah leluhur agar dapat menolong mereka dari bala dan bahaya yang menimpa.
Upacara ini dilakukan di sejumlah tempat, yaitu: Makam Opu Daeng Menambun di Sebukit Rama; makam panembahan-panembahan dan sultan-sultan di Pulau Pedalaman; pantai yang pertama kali disinggahi Opu Daeng Menambun ketika sampai di Mempawah; jalan-jalan kecil dan gang-gang dalam Kota Mempawah; di Sungai atau Kuala Mempawah hingga ke pantai atau sepanjangan bantaran sungai.
Secara umum, tahapan dari penyelenggaraan upacara ini berupa: (1) upacara ziarah kubur, yaitu mengunjungi Makam Opu Daeng Menambun; (2) upacara kenduri, yaitu memohon doa dan keselamatan kepada Tuhan YME agar terhindar dari segala bala dan bahaya; (3) hiburan rakyat, seperti lomba sampan. (HS/sej/45/04-08).
Sumber :
* Rizal, Erwin. t.th. “Kesultanan Mempawah dan Kubu”, dalam Istana- istana di Kalimantan Barat. t.tp.:t.p.
* “Sejarah Kerajaan Mempawah”, dalam http://berlari.blogspot.com/2008/02/sejarah-kerajaan-mempawah.html, diakses tanggal 25 April 2008.
* “Sejarah Kerajaan Mempawah”, dalam http://www.pontianakonline.com/mempawah/equatopedia/sejarah/ kerjmempawah.htm, diakses tanggal 25 April 2008.
* “Pentingnya RTRW bagi Mempawah”, dalam http://stefanusakim.wordpress.com/2007/02/25/pentingnya-rtrw-bagi- mempawah-2/, diakses tanggal 3 Mei 2008.