BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK


SUMATERA EKSPRES L.P.6

Puasa dan Supremasi Hukum

Minggu, 06 Juni 2010.
Puasa dan Supremasi Hukum
Oleh: M Ali Mansyur

SM/dok

Marhaban yaa Ramadan 1426 H, Ahlan wasahlan bihudluurikum.
Selamat datang bulan suci Ramadan 1426 H, semoga membawa keberkahan, Amin. Puasa secara luqhawi berasal dari kata shama - yashuumu - shiyaaman yang berarti menahan diri. Secara istilah puasa berarti menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar shodiq hingga matahari terbenam, dengan menjaga hal-hal yang membatalkan puasa, karena semata-mata memenuhi panggilan iman dan mengharap keridaan Allah SWT.
Tujuan puasa bagi orang beriman adalah untuk membuat mereka meningkat kualitas keimanannya, berubah status keberagamaannya dari mukmin menjadi muttaqin. Metamorfose status keberagamaan seseorang mukmin dengan menjalankan ibadah puasa akan terjadi perubahan secara frontal dengan lonjakan yang luar biasa, yakni tiga tahap terlalui sekaligus tanpa harus ditempuh secara derivatif, di antaranya: muslim, muhsin, dan mukhlis, hingga sampai tingkatan tertinggi yakni muttaqin. Sesuatu yang luar biasa Allah SWT memberikan penghargaan kepada orang-orang yang beriman atas keikhlasannya dalam menjalankan perintah puasa ini.
Tidak ada jenis ibadah yang mempunyai nilai penghargaan secara teologis demikian besar kecuali puasa. Mengapa? Karena ibadah puasa merupakan ibadah yang multidimensional yang pelaksanaannya harus terjadi komprehensivitas dari 3 aspek sekaligus, yaitu jasmani, rohani, dan sosial (individual, vertikal, dan horizontal).
Pertama, aspek jasmani (individual), orang berpuasa harus menahan diri dari makan dan minum selama +14 jam setiap hari selama satu bulan di siang hari serta menjaga hal-hal yang membatalkan puasa. Orang berpuasa dijanjikan akan sehat jasmaninya, sesuatu yang logis dan rasional, kebutuhan jasmani terutama makan dan minum merupakan kebutuhan asasi manusia, karena manusia akan mati jika tidak makan dan minum, namun sebaliknya manusia tidak mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi kalau hanya menuruti nafsu makan dan minum (bahkan kadang dikonstatir seperti binatang/ hewan). Melalui puasa harga diri kemanusiaan menjadi terangkat. Makan dan minum memang menjadi kebutuhan hidup, tetapi tujuan hidup manusia bukan hanya untuk makan dan minum, justru bagaimana dengan makan dan minum membuat hidup menjadi bermakna.
Karena itu, kebutuhan hidup untuk makan dan minum harus diatur sedemikian rupa sehingga manusia memiliki perilaku makan yang berkualitas, apa yang akan dimakan, kapan harus makan, dan di mana harus makan. Jadilah makan dan minum yang berkualitas. Wajar jika rahasia kesehatan Rasul Muhammad SAW yang selalu prima karena beliau mengatur makan dan minum yang berkualitas, bukan asal makan dan minum.
Kedua, aspek rokhani (vertikal), orang berpuasa bukan hanya berpuasa secara jasmani, melainkan rokhaniannya pun berpuasa. Artinya menjaga hal-hal yang membuat berkurang nilai puasanya, menghilangkan bahkan menghapuskan pahala puasa. Dari sisi rokhani, orang berpuasa mencegah perilaku yang merusak rokhaniyah manusia seperti berkata dusta, tidak dapat dipercaya, berlaku tidak adil, sombong, marah, putus asa, iri, dengki, dan tidak melakukan perilaku-perilaku lain yang bertentangan dari nilai-nilai agama. Wajarlah jika rokhani manusia yang berpuasa Ramadan terjaga dari sifat-sifat yang tidak terpuji, lahirlah manusia pilihan yang bukan saja terpilih oleh Allah SWT, melainkan juga dicintai dan disayangi oleh sesama manusia.
Ketiga, aspek sosial (horizontal), orang berpuasa diketuk jiwa kesetiakawanan sosialnya sebagai sesama hamba Allah yang lemah, terbatas, mutlak membutuhkan bantuan orang lain. Karena tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain. Rasa lapar karena berpuasa merupakan pelajaran yang sangat berharga dari Allah kepada orang kaya dan berkecukupan, agar merasakan ketidakenakan menjadi orang miskin/fakir, terpinggirkan, termarginalisasikan, oh papa oh mama, jeritan tangis dan rintihan jiwa karena kelaparan yang menyelimutinya. Perasaan demikian menjadi menu harian, mingguan, dan bulanan, bahkan tahunan bagi orang miskin. Karena itu, melalui berpuasa diharapkan terjalin komunikasi sosial dalam bentuk take and give, tumbuhnya sikap asih, asuh, dan asah, saling tolong, kasih mengasihi, dan puncaknya bertemunya jiwa sosial antara si kaya dan si miskin. Si kaya akan dengan ringan tangan membantu si miskin dan si miskin akan senantiasa menghormati si kaya. Hubungan timbal balik inilah yang akan melahirkan hubungan dalam keseimbangan di antara sesama umat manusia tanpa memandang kaya dan miskin.
Ketiga aspek dari puasa tersebut, bila dapat terimplementasikan, termanifestasikan dalam kehidupan nyata (berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat), maka akan tercipta suasana hidup yang harmonis, seimbang, damai, sejahtera, dan berkeadilan.
Supremasi Hukum
Hubungan antara puasa dan upaya mewujudkan supremasi hukum adalah sangat erat, walaupun tidak dapat disebut sebagai hubungan yang bersifat langsung. Puasa yang merupakan perintah Allah SWT bagi orang beriman untuk menjadi orang bertakwa. Implikasi dari ketakwaan seseorang akan terlihat dari sebuah perilaku kehidupan yang terindikasikan dalam perilaku manusia yang ber-TAQWA, yakni TA: Taat (taat perintah, patuh pada hukum, berkesanggupan untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama), Q: Qanaah (menerima dengan syukur artikulasi kehidupan), WA : Warak (berani menghadapi risiko hidup, dan memiliki prinsip keyakinan dan kepercayaan diri yang tangguh dalam mempertahankan, membela kebenaran dan keadilan.
Jika implikasi nilai dan makna puasa tersebut dapat dimanifestasikan dalam segala aspek kehidupan, lahirlah kondisi yang ideal dan tercapailah apa yang digambarkan sebagai masyarakat damai, tenteram, sejahtera, adil, dan makmur, yang semua itu hanya akan tercapai manakala supremasi hukum dapat ditegakkan. Namun bila suatu masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek keadilan, ketenteraman, dan kedamaian, jangan berharap akan tercapai masyarakat adil dan makmur.
Orang yang berpuasa senantiasa akan menjadi pionir dalam penegakan hukum yang ditandai dengan tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan tiga nilai dasar hukum, yakni kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum (Gustav Radbruch). Supremasi hukum (hukum di atas segalanya) atau hukum menjadi panglima dalam kehidupan, hanya akan terwujud manakala hukum dapat ditegakkan dengan melahirkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Mengapa ungkapan yang menyatakan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, biarkan langit akan runtuh hukum harus ditegakkan. Realitas menunjukkan terjadi kesenjangan. Memang harus diakui bahwa upaya mewujudkan penegakan hukum sebagai konsekuensi dari supremasi hukum banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, aparat penegak hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Jika tiga unsur penegakan hukum ini dapat bekerja dengan baik, maka cita-cita terjadi supremasi hukum akan tercapai. Namun, manakala unsur-unsur penegakan hukum itu tidak mampu melahirkan supremasi hukum, maka sulit keadilan akan diperoleh. Faktor manusianyalah yang sangat menentukan. Dalam hal ini adalah aparat penegak hukum sebagai subjek hukum dan masyarakat sebagai objek hukum. Di samping itu, yang menentukan juga faktor budaya hukum aparat dan masyarakat. Dengan ungkapan lain sebaik apa pun rumusan hukum, jika para pelaksana hukum tidak dapat mewujudkan tujuan hukum dengan baik, tidak akan pernah tercapai keadilan dan kepastian hukum.
Dengan demikian, tidak heran kalau seorang hakim agung Amerika Serikat OW Holmes menyatakan, "Berikan aku jaksa dan hakim yang baik, walaupun hukumnya kurang sempurna, akan mampu mewujudkan keadilan hukum." Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa supremasi hukum akan terwujud jika sumber daya manusia (SDM) penegak hukumnya baik. Karena itu, puasa Ramadan mempunyai lahan garapan mencetak manusia pilihan yang mulia di hadapan Tuhan dan melahirkan karya-karya terbaiknya.
Tidaklah berlebihan, jika orang-orang yang berpuasa dengan sebaik-baiknya hingga tercapai derajat ketakwaan di hadapan Tuhan, kemudian diinfiltrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seandainya mereka menjadi aparat penegak hukum akan berlaku jujur, amanah, dan menegakkan keadilan serta kebenaran sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan kebenaran. Pada sisi lain anggota masyarakat senantiasa menyadari untuk berlaku taat terhadap hukum, tidak ada kesengajaan untuk melanggar hukum dan berani menanggung risiko bila melanggar hukum. Pendek kata, tidak akan lari dari tanggung jawab hukum, sebagaimana semangat menahan makan dan minum dalam berpuasa serta hal-hal yang membatalkan puasa, semuanya semata-semata hanya karena mengharap keridaan Allah SWT. Dengan demikian, tentu supremasi hukum yang terjelma dalam bentuk keadilan dan kepastian hukum masyarakat akan tercapai dan hukum akan mempunyai wibawa dalam menjalankan fungsinya. Amin.(41t)
- Dr HM Ali Mansyur SH CN MHum, Ketua Program Magister (S2) Ilmu Hukum Unissula, Semarang

Comentários:

Posting Komentar

THAKS FOR U ATTENTION
 
Santri Pesisir © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |