BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK
Qur’an Abu Zayd
Qur’an Abu Zayd
Oleh Abd Moqsith Ghazali
30/08/2004
Dalam membaca Alquran, Abu Zayd berseru agar mengambil posisi yang benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan ideologi dan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga tidak mudah terjerembab pada sikap pemutlakan. Seorang pembaca tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang dalam memaknai sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi teks ke dalam kehendak-kehendak si pembaca. Hubungan antara teks dan pembaca tak terpisahkan.
• Abu Zayd
Ass wr.wb,
Saya fikir kalau membicarakan Al Qur'an adalah sama saja dengan kita membicarakan keimanan, karena semua muslim tahu bahwa salah satu rukun iman adalah iman terhadap kitab (al Qur'an salah satunya). Jadi, dasarnya adalah soal akidah. Kalau sudah soal akidah yang dibicarakan akan sulit. Soal keyakinan adalah soal yang tak mudah diuraikan dengan pisau analisis setajam apapun pisau itu. Analisis linguistik, piranti hermeneutika, analisis textual dan lain sebagainya adalah sebuah cara atau metoda dalam lingkup metoda ilmiah. Metoda ilmiah selalu akan berfokus pada; bisa difikirkan, bisa dihitung, bisa ditimbang, bisa diraba, bisa dirasa, bisa dilihat dan akhirnya bisa diurai dan dianalisa. Instrumennya adalah panca-indra, laboratorium dan nalar.
Kita selalu menghargai metoda ilmiah karena memang seharusnyalah demikian kalau kita ingin maju. Namun soal Ilahiah, termasuk di dalamnya adalah Firman, tak semudah itu diurai dengan instrumen metoda ilmiah, khususnya apabila sudah bicara tentang substansi-Nya. Bahkan, secara akidah, saya berfikir adalah mustahil merasionalkan semua substansi Firman itu dalam koridor yang sangat terbatas berupa nalar manusia.
Memang pasti akan ada jarak antara "maksud yang pasti" dari Allah SWT yang berfirman di dalam Al Qur'an, dengan "maksud arti" hasil olahan nalar manusia. Hal ini bisa saja terus berkembang sesuai dengan peradaban manusia dengan rincian-rincian baru dari para ulama tentang kandungan text Al Qur'an. Justru, hal yang seperti ini akan membuat muslim menjadi maju karena usaha yang dilakukan terus menerus untuk mengerti hakikat Firman-Nya.
Terus terang saya tidak tertarik membicarakan pernyataan yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu adalah produk budaya dan terkena hukum sejarah dan lain-lain sehingga Kitab Al Furqon ini sebagai produk budaya tidak bisa lagi dianggap sebagai hal yang transenden. Bagi saya, ini terlalu jauh dan sama saja dengan menguliti akidah. Kalau Al Qur'an tidak kita anggap sebagai sesuatu yang transenden, maka kemungkinannya adalah itu produk perkataan Muhammad saja bukannya Firman Allah SWT, bahkan mungkin bercampur pula dengan perkataan manusia lainnya sewaktu mushaf-mushaf itu disusun sejak zaman Utsman.
Dan itu artinya berlawanan pula secara diameteral dengan Firman Allah SWT tentang al Qur'an : " Bahwa Kami-lah yang menurunkannya, dan Kami-lah yang akan memeliharanya". Atau jangan2 Firman yang inipun tidak pula bisa dianggap transedental??
Wass, Asif
- Asif Iskandar, Cikarang Barat, 30/08/2004 21:08
• Nasr Hamid Abu Zaidy dan Metode Hermeneutika
Sebagai intelektual dan pemikir keislaman nama " Nasr Hamid Abu Zayd " sudah tidak asing lagi di telinga para pemikir Islam. Kehadirannya dengan wacana pemikiran keagamaan telah ikut mewarnai khazanah pemikiran Islam, dengan tidak langsung memposisikan dirinya dalam percaturan pemikiran Islam kontemporer.
Sama halnya dengan tokoh lainnya seperti 'Ali 'Abdurraziq, Abu Zayd telah banyak melontarkan pemikiran yang kontroversial. Dalam bukunya" Mafhumun Nash ", ia mengatakan Al Quran adalah produk budaya. Suatu pengambilan konklusi yang menurut saya cukup berani dan gegabah, sehingga tidak heran bila pengadilan negara Mesir memvonisnya murtad(keluar dari agama Islam) dan menceraikan dengan istrinya Dr.Ibtihal yang juga seorang terpelajar. Karena merasa tidak aman hidup di Mesir, pada tahun 1995 mereka pindah ke Eropa dan mengajar di Universitas Lieden Belanda.
Sebenarnya apa yang di serukan Abu Zayd dalam usaha pembacaan teks Al Quran adalah barang lama yang sudah basi, hal ini akan kelihatan jelas sekali jika menilik metode tafsir hermeneutika, sebuah metode tafsir Bible yang kemudian oleh para filosof dan pemikir kristen di kembangkan menjadi metode interpretasi teks secara umum. Metode hermeneutika inilah yang di adopsi oleh sejumlah intelektual dan pemikir Islam termasuk "Nasr Hamid Abu Zaid" dalam menafsirkan teks Al- Qur`an.
Saya akan coba menarik benang merah hubungan metode hermeneutika ini dengan apa yang di suarakan Abu Zaidy dalam gagasannya terhadap teks Al Quran: 1. Perlunya historisitas teks Al Quran Ini adalah gagasan yang pernah di cetuskan Dilthey seorang ahli teologi. Dalam mengembangkan metode hermeneutika, ia mengatakan perlunya penekanan historisitas sebuah teks dan kesadaran sejarah serta bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya.
2: Perlu adanya hubungan antara si pembaca dengan teks yang bersifat dialektika (jadaliyah) bukan bersifat tunduk (ikhth'a). Ini juga adalah gagasan "Gadamer". Ia mengatakan perlu adanya interaksi antara si pembaca teks dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika tanya jawab, bahkan lebih dari itu ia juga menambahakn interaksi ini tidak boleh berhenti, setiap jawaban adalah relatif kebenarannya yang senantiasa boleh dikritik dan di tolak.
Jadi apa yang dibawa "Nasr Hamid Abu Zayd" dalam menginterpretasikan Al Quran bukan barang baru lagi semuanya menggunakan metode hermeneutika produk Barat, sehinnga ia berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa Al Quran adalah produk budaya. Karena dalam persepektif hermeneutika secara umum, menganggap setiap teks sebagai produk budaya/sejarah baik teks kitab suci maupun karya manusia, tidak ada pengistimewaan satu dengan yang lainnya. Bukan itu saja, hermeneutika menghendaki si pembaca bersikap skeptis, menjustifikasikan pemahaman relativisme epistemologis, tidak ada tafsir yang mutlak benar semuanya rellatif. Dalam konteks keindonesiaan dampak penggunaan metode hermeneutika sangat jelas sekali, tidak bolehnya "Truth Claim" (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu lahir dari rahim hermeneutika ini.
Yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah:" Bagaimana nasib masa depan generasi Islam yang di harapkan akan tumbuh menjadi pembela dan pengawal Islam kelak, jika sumber ajaranya (Al Quran dan Hadits) telah dijustifikasi racun hermeneutika ini?. Bagaimana mungkin hermeneutika yang kelahirannya sangat problematis di Eropa dahulu sebagai sikap protes dan kekecewaan penganut kristen terhadap teks bibel yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, akan di terapkan pada teks Al Quran?. Metode yang tepat untuk kritis terhadap teks Bible tetapi bukan untuk Al Quran!.
Kembali ke sosolk" Abu Zaid"dengan pemikiran kontroversialnya, apakah Al Quran adalah produk budaya ? jawaban saya : bukan produk budaya tetapi produk" langit". Karena saya memahami Al Quran sebagai wahyu yang tidak terikat dengan apapun juga. Al Quran bersumber dari sesuatu yang "non historis" walaupun dalam penyampain pesan formal Tuhan itu harus menjelma menjadi sesuatu yang bisa di pahami oleh si penerima pesan, tentunya dengan kultur bahasa (lughawi) si penerima pesan itu sendiri, sehingga dengan demikian boleh di katakan wahyu ilahi telah memasuki ruang dan waktu atau sejarah manusia.
Ini semua tidak mengubah identitas wahyu sebagai produk " langit " menjadi produk budaya manusia. Sifat Islam (wahyu) yang universal yang lahir sebagai respon terhadap nilai dan tatanan, budaya lokal arab jahiliyah masa itu menjadi masalah tatkala berhadapan dengan kultur budaya yang bersebrangan dengan nilai Islam itu sendiri. Dalam tataran ini budaya harus mengambil posisi tunduk di bawah wahyu. Dengan demikian, jelaslah bahwa posisi wahyu di atas budaya. Sekali lagi saya tegaskan wahyu tidak lahir dari produk budaya sekalipun wahyu mencari esensi pesannya melalui piranti kultur dan bahasa, bahasa manusia ini adalah bagian dari budaya. Malah yang terjadi adalah sebaliknya banyak kreasi manusia (budaya) yang lahir dari produk wahyu ilahi ini.
Saya teringat akan pesan seorang ulama besar dan Imam mazhab fikih Imam Abu Hanifah r.a. dalam kitab "Al Mizan Al Kubro" beliau mengatakan:" berhati-hatilah kalian jika berbicara tentang masalah agama dengan menggunakan fikiranmu semata. Berpeganglah kalian pada sunnah Siapa yang keluar darinya ia akan sesat". Kiranya pesan ini menjadi pegangan kita ummat islam agar selalu berhati-hati dalam menggunakan akal semata dalam menyikapi agama dan menggadaikan keontentikan sunnah nabawiyah.
- Suharmadi Assumi, Medan, 01/09/2004 06:09
• Nasr Hamid Abu Zaidy dan Metode Hermeneutika
Sebagai intelektual dan pemikir ke islaman nama " Nasr Hamid Abu Zaidy " sudah tidak asing lagi di telinga para pemikir Islam.Kehadirannya dengan wacana pemikiran keagamaan telah ikut mewarnai khazanah pemikiran islam , dengan tidak langsung telah memposisikan dirinya dalam percaturan pemikiran Islam kontemporer.
Sama halnya dengan tokoh lainnya seperti 'Ali 'Abdurraziq, Abu Zaidy telah banyak melontarkan pemikiran yang kontroversial.Dalam bukunya" Mafhumun Nash " beliau mengatakan Al Quran adalah produk budaya.Suatu pengambilan kongklusi yang menurut saya cukup berani dan gegabah,sehingga tidak heran bila pengadilan negara Mesir memvonisnya murtad(keluar dari agama Islam) dan menceraikan dengan istrinya Dr.Ibtihal yang juga seorang terpelajar.Karena merasa tidak aman hidup di Mesir,pada tahun 1995 mereka pindah ke eropa dan mengajar di universitas Laiden Belanda.
Sebenarnya apa yang di serukan Abu Zaidy dalam usaha pembacaan teks Al Quran adalah barang lama yang sudah basi,hal ini akan kelihatan jelas sekali jika menilik metode tafsir hermeneutika,sebuah metode tafsir bible yang kemudian oleh para filosof dan pemikir kristen di kembangkan menjadi metode interpretasi teks secara umum. Metode hermeneutika inilah yang di adopsi oleh sejumlah intelektual dan pemikir Islam termasuk "Nasr Hamid Abu Zaidy" dalam menafsirkan teks Al Quran.
Saya akan coba menarik benang merah hubungan metode hermeneutika ini dengan apa yang di suarakan Abu Zaidy dalam gagasannya terhadap teks Al Quran: 1:Perlunya historisitas teks Al Quran Ini adalah gagasan yang pernah di cetuskan "Dilthey"seorang ahli teolog.Dalam mengembangkan metode hermeneutika beliau mengatakan,Perlunya penekanan historisitas sebuah teks dan kesadaran sejarah serta bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya.
2: Perlu adanya hubungan antara si pembaca dengan teks yang bersifat dialektika (jadaliyah) bukan bersifat tunduk (ikhth'a).Ini juga adalah gagasan "Gadamer" beliau mengatakan perlu adanya interaksi antara si pembaca teks dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika tanya jawab,bahkan lebih dari itu ia juga menambahakn interaksi ini tidak boleh berhenti,setiap jawaban adalah relatif kebenarannya yang senantiasa boleh di kritik dan di tolak.
Jadi apa yang di bawa " Nasr Hamid Abu Zaidy" dalam menginterpretasikan Al Quran bukan barang baru lagi semuanya menggunakan metode hermeneutika produk barat,sehinnga ia berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa Al Quran adalah produk budaya.Karena dalam persepektif hermeneutika secara umum, menganggap setiap teks sebagai produk budaya/sejarah baik teks kitab suci maupun karya manusia,tidak ada pengistimewaan satu dengan yang lainnya.Bukan itu saja Hermeneutika menghendaki si pembaca bersikap skeptis,menjustifikasikan pemahaman relativisme epistemologis, tidak ada tafsir yang mutlak benar semuanya rellatif.Dalam konteks ke indonesiaan dampak penggunaan metode Hermeneutika sangat jelas sekali,tidak bolehnya "Truth Claim" (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu lahir dari rahim hermeneutika ini.
Yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah:" Bagaimana nasib masa depan generasi Islam yang di harapkan akan tumbuh menjadi pembela dan pengawal Islam kelak, jika sumber ajaranya (Al Quran dan Hadits) telah dijustifikasi racun hermeneutika ini?.Bagaimana mungkin Hermeneutika yang kelahirannya sangat problematis di eropa dahulu sebagai sikap protes dan kekecewaan penganut kristen terhadap teks bibel yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, akan di terapkan pada teks Al Quran?.Metode yang tepat untuk kritis terhadap teks bible tetapi bukan untuk Al Quran!.
Kembali ke sosolk" Abu Zaidy"dengan pemikiran kontroversialnya,apakah Al Quran adalah produk budaya ? jawaban saya : bukan produk budaya tetapi produk" langit". Karena saya memahami Al Quran sebagai wahyu yang tidak terikat dengan apapun juga.Al Quran bersumber dari sesuatu yang "non historis" walaupun dalam penyampain pesan formal Tuhan itu harus menjelma menjadi sesuatu yang bisa di pahami oleh si penerima pesan,tentunya dengan kultur bahasa (lughawi) si penerima pesan itu sendiri,sehingga dengan demikian boleh di katakan wahyu ilahi telah memasuki ruang dan waktu atau sejarah manusia.
Ini semua tidak mengubah indentitas wahyu sebagai produk " langit " menjadi produk budaya manusia.Sifat Islam (wahyu) yang universal yang lahir sebagai respon terhadap nilai dan tatanan,budaya lokal arab jahiliyah masa itu menjadi masalah tatkala berhadapan dengan kultur budaya yang bersebrangan dengan nilai islam itu sendiri.Dalam tataran ini budaya harus mengambil posisi tunduk di bawah wahyu.Dengan demikian jelaslah bahwa posisi wahyu di atas budaya.Sekali lagi saya tegaskan wahyu tidak lahir dari produk budaya sekalipun wahyu mencari esensi pesannya melalui piranti kultur dan bahasa , bahasa manusia ini adalah bagian dari budaya.Malah yang terjadi adalah sebaliknya banyak kreasi manusia (budaya) yang lahir dari produk wahyu ilahi ini.
Saya teringat akan pesan seorang ulama besar dan Imam mazhab fikih Imam Abu Hanifah r.a.dalam kitab "Al Mizan Al Kubro" beliau mengatakan:" berhati-hatilah kalian jika berbicara tentang masalah agama dengan menggunakan fikiranmu semata .Berpeganglah kalian pada sunnah sapa yang keluar darinya ia akan sesat". Kiranya pesan ini menjadi pegangan kita ummat islam agar selalu berhati-hati dalam menggunakan akal semata dalam menyikapi agama dan menggadaikan keontentikan sunnah An Nabawiyah.
- Suharmadi Assumi, Medan, 01/09/2004 06:09
• Zaid & Pencerahan itu
Metode Hermeneutika Abu Zaid memang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh kalangan Islam. Bagi kalangan fundamentalis misalnya, hermeneutika merupakan produk Barat yg tidak Islami sehingga penggunaan metode tersebut untuk memahami al-Qur'an hanya untuk mengaburkan makna (literal?) Qur'an yang dipandang sudah terang.
Terlepas dari itu, bahwa metode hermenuitika mampu menolong membaca teks-teks agama yang kaya akan makna dan tafsir, sehingga memungkinkan pembaca menggali makna lain yang lebih kontekstual. Ini sekaligus menjadi jalan tengah dalam mengurai kompleksitas makna yg terpendam dari teks-teks yg ditengarai sebagai firman Tuhan.
Bagaimanapun rintisan Abu Zaid dengan metode hermeneutika-nya merupakan jalan alternatif bagai kita untuk bisa memahami makna yg tersembunyi dari al-Qur'an.
- Ahmad Nurcholish, Ancol Jakarta, 02/09/2004 14:09
• tanggapan qur'an abu zayd
menarik apa yang disampaikan oleh abu zayd. saya pribadi masih sepaham dengan prinsip kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. apabila manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya kemudian memasuki wilayah klaim-mengklaim kebenaran sebuah pendapat, maka menurut saya manusia tersebut sudah lupa akan kodratnya...
- Kholid Fuadi, Jogjakarta, 06/09/2004 04:09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comentários:
Posting Komentar