BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK
Tasawuf sebagai Mazhab Cinta
Tasawuf sebagai Mazhab Cinta
Oleh Syamsu Dharma
Menurut kisah, Hasan Al-Bashri sahabat karib Rabi'ah (meskipun dikisahkan meninggal lebih dari tujuh puluh tahun sebelum kematian Rabi'ah ), mendesak Rabi'ah agar segera menikah, dan begitu juga yang lainnya. Mereka mendesak agar memilih sesama sahabat sufi di kota itu.
Atas desakan kuat itu Rabi'ah mengatakan, "Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar diantara kalian semua". Mereka mengatakan, "Hasan Al-Bashri itulah orangnya." Lantas Rabi'ah berkata kepadanya, "Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku bersedia menjadi istrimu." Hasan Al-Bashri berkata, "Bertanyalah dan jika Allah mengijinkan, aku akan menjawab pertanyaanmu."
Pertanyaan pertama, "Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?" Hasan menjawab, "Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab."
Lalu ia mengajukan pertanyaan kedua, "Pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?" Hasan juga menjawab, "Hanya Allah Yang Tahu."
Lalu Rabi'ah memberikan pertanyaan selanjutnya, "Pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan nanti semua kan menerima buku di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerimanya di tangan kanan atau tangan kiriku?" Maka Hasan hanya dapat menjawab, "Hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui."
Akhirnya Rabi'ah mengajukan pertanyaan terakhir, "Pada saat hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk Surga (Jannah) dan sebagian kelompok lain akan masuk ke Neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?" Hasan juga menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya Rabi'ah mengatakan kepada Hasan ,"Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaimana aku harus bersuami yang kepadanya dan aku harus menghabiskan waktuku dengannya? Sedangkan dengan empat pertanyaanku saja dia tidak bisa menjawab."
Mendengar jawaban itu maka pergilah Hasan meninggalkan Rabi'ah menempuh jalan sendiri-sendiri. Sebagaimana kebanyakan cerita di dunia tasawuf, kita tak tahu bagaimana Hasan bisa bertemu dengan Rabi'ah. Yang jelas riwayat dialog di atas sebenarnya mencerminkan dua konsep tasawuf pada masa awal perkembangannya yang dilakoni oleh tokohnya masing-masing.
Rabi'ah al-Adawiyah misalnya adalah seorang wanita sufi yang pertama kali menitikberatkan unsur cinta "Hub" di dalam tasawuf bahkan menggarisbawahinya. Rabi'ah pernah berkata: "Uhibbuka hubbain", aku mencintai Engkau karena dua kecintaan. Satu kecintaan karena nafsu, dan kedua karena Engkau layak menerima cintaku."
Sebagaimana mazhab fiqih, juga ada banyak ajaran dan doktrin tasawuf yang berkembang, tapi makhluk semacam apakah tasawuf itu? Tak ada kata yang paling sering disalahpahami selain tasawuf. Baik oleh pembenci maupun pengamalnya. Tasawuf dibenci disamping karena tidak dipahami juga dianggap sebagai anti sains, anti kemajuan. Sebagian orang malah berujar jika tasawuf datang, kemajuan akan hengkang. Memang, ada banyak definisi tentang tasawuf. Suhrawardi mengatakan, "Qawl (pendapat) para guru tasawuf tentang apa itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya." Walaupun begitu banyak Suhrawardi menyebut beberapa definisi Tasawuf dari tokok-tokoh kenamaan dalam dunia tasawuf. Abu Sa'id al-Kharraz (268 H) berkata, "Sufi adalah orang yang telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah." Berkata Abdul Qadir Kilani: "Orang membersihkan lahir batinnya dengan mengikuti kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya saw. Secara tidak langsung Basyar al-Hafi mengartikan tasawuf sebagai mengikuti sunnah Rasul, berkhidmat kepada orang-orang saleh, memberi nasihat kepada saudara seagama, mencintai sahabat dan ahlil bait Nabi. Tanpa penjelasan, definisi-definisi ini tidak bermanfaat apa-apa. Pada umumnya orang keliru memahami pengertian tasawuf dengan zuhud dan ibadah; sufi dengan zahid dan 'abid.
Tasawuf sebenarnya adalah tahapan lebih lanjut dari ibadah dan zuhud. Orang menjadi sufi apabila ia meninggalkan ibadah yang egoistik menuju ibadah yang semata-mata berdasarkan cinta. Kecintaan telah dan selalu menjadi landasan berpikir dan beramal kaum sufi, malah dalam pandangan kaum sufi seluruh fenomena dan kejadian alam semesta ini tercipta karena limpahan cahaya cinta "Ilahi".
Seorang sufi beribadah karena Dia berhak diibadahi, kaum sufi menyembah Allah karena cinta. Dalam pengertian inilah Imam Ali kw. berkata,"Ada kaum yang menyembah Allah karena menginginkan pahala, itulah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, itulah ibadah para hamba sahaya. Ada kaum yang menyembah Allah karena syukur kepada-Nya, itulah manusia merdeka."
Sayyidina Ali kw. benar, tanpa kemerdekaan seorang tidak mungkin mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhannya. Tiada rasa syukur tanpa kecintaan yang dalam. Lalu bagaimana sebaiknya kita mengenal ajaran agama ? Dimana letak tasawuf dalam keberagamaan kita ?
Kebanyakan kita mengenal ajaran agama dengan hukum-hukumnya yang menakutkan. Tapi dengan tasawuf yang dikenalkan adalah mazhab cinta. Yang Maha Dicintai selalu memberi cinta-Nya yang tak terbatas dan tak pernah memberi kekecewaan. Mengapa kita kita tidak mau "bercinta" dengan Tuhan, agar yang selalu keluar dari kita juga rasa cinta, rasa syukur dan kebaikan.
Sebagai akhir dari tulisan sederhana ini, ada sepotong cerita indah yang melukiskan tentang kebersamaan 'Aisyah bersama Rasulullah saw. dalam menunjukkan realitas puncak kecintaan seorang hamba akan rasa cinta dan syukur kepada Tuhan-Nya (Tafsir Ibn Katsir, 1:441): Pada suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, "Ya 'A'isyah, izinkanlah aku beribadat kepada Tuhanku." Aku berkata, "Aku sesungguhnya senang merapat denganmu; tetapi aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu." Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar dia terisak-isak menangis. Kemudian dia duduk membaca Al-quran, juga sambil menangis sehingga air matanya membasahi janggutnya. Ketika dia berbaring , air mata mengalir lewat pipinya membasahi bumi di bawahnya. Pada waktu fajar, Bilal datang dan masih melihat Nabi saw. Menangis, "Mengapa Anda menangis padahal Allah telah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang kemudian? Tanya Bilal. "Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur."
Wallahu a'lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comentários:
Posting Komentar