BY: ZAINAL ASLI BUJANG PONTIANAK


SUMATERA EKSPRES L.P.6
0

BERNEO KU SAYANG BORNEO KU MALANG

Selasa, 19 Oktober 2010.

BERNEO KU SAYANG BORNEO KU MALANG
siapa yang tidak tau akan keindahan pulau borneo, yang terkenal sebagai kawasan ter dan paling hijau diantara pulau-pulau yang ada di Indonesia, batu hijau adalah sebuah julukan yang diberikan kepada pulau Kalimantan pada saat pemerintahan hindia-belanda, pada saat tentara VOC melakukan penelusuran melalu jalur udara di pulau Kalimantan. Ternyata mereka sebagai penjajah tertarik kepada pulau Kalimantan yang mempunyai luas pulau kurang lebih Sembilan kali lipatnya dari luas pulau jawa.
Nah saat ini, apakah pulau Kalimantan masih bisa dikatan sebagai kawasan hijau atau kawasan yang sering kita sebuat sebagai green land, dikarenakan hutan dan populasinya sudah banyak yang punah akibat dari bencana alam dan ulah manusia yang telah berlebihan mengambil hasil buminya. Tidak sedikit hutang yang gundul akibat penebangan liar yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak berbudaya.
Pada tahun 2000 Indonesia mendapatkan panghargaan sebagai kawasan yang mempunyai populasi dan budaya yang sangat indah, dan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia karena hutannya yang besar dapat mengahasilkan oksigen yang mampu tersebar keseluruh penjuru dunia, namun berselang 6 tahun kemudian, julukan sebagai paruh dunia itu kini harus dipertanyakan kembali, apakah paru dunia tersebut masih dimilik Indonesia atau sudah pindah ke Malaysia.
Hutan Kalimantan adalah hutan yang menduduki peringkat pertama diseluruh nusantara, namun saat ini hutan di Kalimantan sudah berubah menjadi padang tandus, kosong tanpa penghuni. Namun pulau Kalimantan tidak hanya terkenal karena memiliki hutan yang luas akan tetapi pulau Kalimantan juga terkenal karena memiliki corak budaya yang kaya akan keragaman aneka jenis budayanya. Banyak sekali budaya-budaya yang ada di Kalimantan, termasuk keanekaragaman suku-budaya dan tempat pariwisata yang sangat elok, unik, indah dan asyik untuk kita ketahui sebagai salah satu kekayaan Negara kita Indonesia.
Leia Mais...
0

JANGAN BERMAIN-MAIN DENGAN WAKTU


JANGAN BERMAIN-MAIN DENGAN WAKTU
Oleh: M. Zainal Bakri
Santri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Asal Kalimantan Barat (Pontianak)
Waktu? siapa sih yang gak tau akan waktu, jangankan kita manusia yang memang sudah memiliki akal fikiran yang diberikan oleh allah SWT untuk berfikir sekaligus membedakan kita dengan mahkluk yang lainnya, mahkluk ciptaan allah yang lain saja tau dan menghargai akan pentingnya waktu dalam kehidupannya, kapan mereka harus makan, kapan mereka harus mulai kerja, kapan mereka harus bersanati ria. kenapa kita sebagai manusia sebagai mahluk cipataan allah yang paling sempurna masih belum bisa menghargai waktu.
Namun kita jangan khawatir, banyak cara agar kita bisa memenej waktu kita dengan baik, salah satunya yakni dengan cara kita membuat jadwal kegiatan kita selama 24 jam, selama beberapa hari, selama beberapa minggu kedepan. kita tinggal menulis dari jam berapa dan mulai hari apa kita akan memulai kegitan kita. Setelah itu kita harus bisa menjalankan jadwal yang kita buat dengan konsisten dan yakin kalau waktu itu memang berarti dalam kehidupan kita, kalau perlu kira suruh sanak saudara, Ibu, Ayah, bahkan Istri kita untuk mengingatkan kita akan jadwal kita hari ini. Mudahkan.?
Kelihatannya mudah namun jagan lupa, diatas tadi sudah saya singgung, kita harus bisa istiqomah atau konsisten dalam memenej waktu, naah disinilah letak kelemahan kita, terkadang kita mampu untuk membuat jadwal dan rencana kegitan kita selama satu hari ini, namun kita terkadang masih berleha-leha disebabkan kebiasaan kita tersebut. Maka dari itu kita jangan lupa untuk mengoreksi agenda kagitan kita selama yang sudah kita lakukan, apakah agenda yang sudah kita buat berjalan dengan baik atau masih ada yang harus kita perbaiki. Selamat mencoba.
Leia Mais...
0

Hermeneutika Al- Qur’an, perlukah?

Minggu, 17 Oktober 2010.

Al-Qur’an selalu menarik, sekaligus menjadi tantangan bagi manusia untuk dikaji. Menarik karena kitab yang diturunkan pada 17 Ramadhan ini mengandung ajaran Ilahi, yang berfungsi sebagai juru penyelamat manusia. Dan menantang, karena di dalamnya banyak “rahasia” Tuhan yang masih belum tersingkap, karena kemampuan manusia yang terbatas. Oleh karena itu tuntutan untuk mengkajinya semakin mengkristal. Seiring lajunya arus modernisasi dan globalisasi, hingga Al-Qur’an tetap menjadi Hudan li An-Nas.

Dewasa ini muncul berbagai disiplin ilmu dalam mengkaji kitab-kitab Tuhan. Diantaranya adalah hermeneutika. Al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Diharapkan dapat selalu up to date terhadap perubahan zaman dan selalu elastis terhadap multicultural, hingga keberaadaannya dapat dirasakan sebagai dinamo penggerak kemajuan masyarakat. Lantas, apakah untuk memahami al-Qur’an membutuhkan hermeneutika? Inilah permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam artikel ini.

Sebelum lebih jauh melangkah, alangkah baiknya jika kita menyatukan opini dan pemahaman kita terhadap hermeneutika. The new Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (The study of the general principle of biblical interpretation). Adapun tujuan dari Hermeneutika itu sendiri adalah menemukan nilai kebenaran dalam Bible.

Dalam sejarahnya Hermeneutika muncul pada abad petengahan dengan lahirnya seorang tokoh pemikir besar dalam bidang itu, yaitu Thomas Aquinas (1225-1274), karyanya yang menumental berjudul Summa Theologica menekankan pentingnya interpretasi Bible secara litertal.

Pada abad ke-18 (zaman Enlightenment) tokoh pemikir liberal kristen Johan Solomo Semler mengemukakan gagasannya bahwa hermeneutika mencangkup banyak pembahasan seperti retorika, tata bahasa, logika, sejarah, penerjemahan dan kritik terhadap teks. Menurutnya tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri, sehingga pemahaman seiring dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para penulis teks.

Jadi pada awalnya hermeneutika dipakai untuk menemukan nilai-nilai kebenaran dalam perjanjian lama (old testament) atau pun perjanjian baru (new testament). Mengapa para Teolog dan agamawan kristen memerlukan hermeneutika dalam mengkaji kitab-kitab mereka? Karena mereka menemukan big problem dalam memahami dan menginterpretasikan serta mencari true value dalam kitab suci mereka. Selama ini masih mucul pertanyaan besar dan belum bisa dijawab dengan pasti. Yaitu, apakah secara harfiah Bible adalah kalam Tuhan, atau perkataan manusia? Aliran yang mengakui bahwa Bible itu adalah kalam Tuhan dan tidak ada unsur perkataan manusia, dianggap terlalu ekstrim, dan bahkan tidak rasional. So what’s fucking hell with that?

Banyak kalangan agamawan yang masih menganggap Bible sebagai kitab yang masih dipertanyakan penciptanya. Seperti Richard Elliot Friedman dalam bukunya “Who wrote the Bible” menyatakan bahwa hingga kini, siapa yang menulis kitab tersebut masih merupakan misteri yang belum terungkap dengan pasti.

Karena Bible memiliki banyak penulis, dan itupun belum pasti kebenarannya. Bahkan terjadi banyak perbedaan dalam tulisan-tulisan itu, serta tidak ada redaksi Bibel yang diakui original, maka menemukan titik temu “kebenaran” dalam Bibel sangat sulit. Prof M. Metzger dalam bukunya “A Textual Commentary on the Greek New Testament” menyatakan bahwa para interpreter Bible menemukan beberapa permasalahan dalam menginterpretasikan Bible diantaranya yaitu: Pertama, tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini. Kedua, bahan yang ada bermacam-macam dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Tentunya kondisi tersebut mempersulit kaum intelektual agamawan dalam menelaah Bible dan menemukan nilai kebenaran murni.

Bible sendiri sebenarnya memiliki “sejarah kelam” beberapa abad silam. Para paulus menjual firman Tuhan untuk kepentingan peribadi dan kelompoknya. Bahkan mereka berani membuat “kabur” firman Tuhan dengan deviation interpretation untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan demi mempertahankan kandungan Bible, para paulus membungkam mulut para ilmuan dalam mengemukakan penemuan ilmiahnya sehingga melumpuhkan bahkan mematikan perkembangan peradaban di Eropa kala itu.

Salah satu indikasinya dalam konteks ini adalah bahwa otoritas gereja pernah menghakimi ilmuan seperti Gelileo Galilei karena mengekspose teori “Heliocentric” yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Sikap itu diambil untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan gereja yang mempunyai doktrin Infallibility. Segala hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai “heresy” (bid’ah) dan dihadapkan ke mahkamah inquisisi.

Problematika seputar Bible dalam konteks kontradiksi dengan sains terjadi pada abad pertengahan (500-1500 M). Zaman ini dikenal sebagai Medieval Europe, masih ada kasus serupa, tetapi dalam sekala yang lebih kecil berlanjut pada zaman pencerahan, orang Eropa menyebut zaman ini dengan zaman Renaissance yang bermakna “kelahiran kembali” (Rebirth). Adapun inti dari zaman Renaissance ini adalah zaman merebaknya paham “sekularisme, humanisme dan liberalisme“ yang berbuntut kepada interpretasi Bible yang disubordinasikan ke dalam paham-paham tersebut. Karena diakui atau tidak, orang-orang Eropa hampir “gila” yang disebabkan pengaruh kekuasaan gereja dalam kehidupan sosial masyarakat. Gereja mengatur segala lini kehidupan masyarakat sehingga freedom “digantung” tak berdaya. Inilah catatan hitam gereja dengan memanfatkan Bible yang dianggap sebagai firman Tuhan.

Nah, dari complete problem tersebut, maka hermeneutika diperlukan untuk “mencari” celah dalam memahami Bible yang telah menjalani lika-liku dan gesekan paradigma kehidupan selama berabad-abad dengan harapan, dapat mengungkap nilai kebenaran murni dari kitab suci itu.

Berbeda dengan Al-Qur’an, yang diakui dan terbukti sebagai karya tuhan yang tidak dimasuki oleh pendapat-pendapat manusia dalam redaksi aslinya. Perjalanan Al-Qur’an dalam sejarahnya, dari Jibril kepada Muhammad kemudian berlanjut kepada para sahabat, Tabiin hingga sampai di tengah-tengah kita, telah tertulis dengan jelas dalam buku-buku Ulum Al-Qur’an karya para ulama turast, tidak ada “korupsi” redaksi yang terjadi. Jelas dalam point ini terdapat perbedaan signifikan antara Al-Qur’an dan Bible.

Menurut hemat para ulama Mutakallimin, paling tidak pemahaman meraka terhadap Al-Qur’an terpusat pada dua point, yaitu: Pertama, bahwa Al-Qur’an adalah perkataaan Tuhan yang paling baik dan mulia dari perkatan yang lainnya. Kedua, bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah, dan kalamullah adalah qadhim dan bukan makhluk. Begitupun para ulama ushul, fiqh, dan lughah ‘arabiyah berpendapat yang sama, hanya saja mereka berbeda pendapat seputar metodologi penurunan ayat-ayat Tuhan hingga sampai di tengah-tengah kita.

Pengetahuan tentang Nuzul Al-Qur’an merupakan asas dalam mengohohkan kepercayaan akan status Al-Qur’an sebagai kalamullah dan juga melegitimasi kepercayaan akan kerasulan Muhammad. Serta membenarkan ajaran yang disebarkannya. Nuzul Al-Qur’an juga masuk ke dalam pokok-pokok pembahasan dalam ulum Al-Qur’an. (untuk lebih jelasnya, baca Manahilul Irfan jilid 1 hal 37)

Al-Qur’an yang menyandang gelar sebagai kitab suci dan sekaligus mukjizat terbesar Rasul ini, mengandung makna yang luas dalam setiap ayatnya. Bahkan jika mengkajinya hingga tujuh keturunanpun, kita masih belum bisa menyingkapkan seluruh true value yang dapat dijadikan sumber kesejahteran manusia. Kalau boleh meminjam istilah Cak Nur, bersifat open ended, artinya selalu terbuka dalam menginterpretasikannya sehingga tidak lapuk dimakan usia dan selalu compatible dalam setiap zaman.

Nah, untuk membumikan dan memanusiakan ayat-ayat Tuhan yang terangkum dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut, tidak diperlukan lagi apa yang disebut hermeneutika. Karena penggunaan hermeneutika kepada Al-Qur’an merupakan penempatan dan penggunaan yang salah. Tafsir dan Ta’wil adalah sarana tepat yang dapat dijadikan “jembatan” dalam merangkai pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an.

Tafsir secara etimologi adalah keterangan dan penguraian. Adapun Tafsir secara terminologi adalah ilmu yang membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an (makna ayat-ayat Tuhan). Takwil secara etimologi adalah kembali. Adapun secara terminologi, memalingkan lafaz dari maknanya yang dzahir kepada makna yang “mungkin” terkandung atau tersirat di dalamnya. Dengan syarat, jika makna yang “mungkin” itu sesuai dengan (semangat) kitab dan sunnah. Contohnya seperti firman Allah “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati” (al-Anbiya’: 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itu disebut tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah takwil.

Dengan status Al-Qur’an yang tidak memiliki sejarah “kelam” dan dengan karya-karya ulama klasik tentang Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu yang mendukung dalam menginterpretasikannya, maka kitab suci ini tidak memerlukan hermeneutika dalam mengkajinya. Jika hermeneutika “dipaksakan” untuk menggantikan tafsir dalam menginterpretasikan Al-Qur’an maka besar kemungkinan “kekecewaan” yang diraih karena akan terjadi misi understanding terhadap makna teks-teks tersebut atau muncul “korupsi makna” yang dapat menyesatkan tanpa kita sadari.

Sebagai bahan renungan, saya akan menyampaikan hadits kanjeng nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun, kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: “Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi [kalau bukan mereka].” (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

Semoga kita dapat mengambil sisi “baik” dari budaya dan peradaban barat yang memuncak, tanpa “melupakan” status kita sebagai ummat kanjeng Nabi SAW, hingga kejayaan umat Islam pada masa lalu dapat terwujud kembali. Allahumma ‘aizzal islama wal muslimin.

Oleh: M. Abdurachman.R*

* Mahasiswa Al- Azhar Fak Aqidah Filsafat, anggota KMKM.
Leia Mais...
0

Jalan Menuju Kesuksesan

Sabtu, 16 Oktober 2010.


Manusia termasuk di antara makhluk Allah yang diciptakan berbeda-beda. Perbedaan ini adalah sebuah variasi hidup, dengannya manusia bisa berinteraksi dan saling kenal satu sama lain. Dari sudut perbedaan itu, manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: perbedaan batiniah dan lahiriah. Kelompok batiniah tidak bisa kita ukur, karena hal ini berhubungan dengan tingkat keimanan yang bersifat kualitatif, sedangkan kelompok lahiriah sebaliknya.

Pembahasan ini akan difokuskan pada sisi manusia yang bersifat lahiriah, lebih khusus lagi masalah perbedaan tingkat intelektualitas. Dalam masalah perbedaan intelektualitas, manusia itu diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok orang-orang cerdas, pandai dan cerdik. Kedua, kelompok orang-orang kurang cerdas, kurang pandai atau kurang mampu menangkap ilmu-ilmu Allah dengan cepat.

Sebagai manusia kita harus berusaha untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecerdasan dan kepandaian yang dimiliki. Sehingga dengan demikian setiap manusia akan lebih mampu mengenal dirinya sendiri, mengenal potensi-potensi dan kemampuan yang ia miliki, sekaligus mengenal kelemahan dan juga kekurangannya.

Manusia yang mengetahui hakikat dirinya, kelebihan sekaligus kekurangannya, kemudian dibarenginya dengan akhlak yang mulia, akan membuat diri seseorang tersebut senantiasa berusaha memanfaatkan dan mensyukuri kelebihan-kelebihan yang ia miliki sekaligus menutupi semua kekurangan dirinya. Nah, manusia seperti inilah yang nantinya insya-Allah akan meraih kesuksesan dan kemenangan yang gemilang di setiap hidupnya.

Lantas apa hubungan antara intelektualitas dan kesuksesan? Di sinilah sebenarnya letak kelebihan intelektual manusia. Setiap orang harus menyadari potensi kecerdasan dirinya serta mampu menggunakan sekaligus menyikapinya.

Kesuksesan akan didapat jika seseorang telah memiliki syarat dasar yang mengantarkan dirinya pada kesuksesan. Dan, rata-rata orang yang tidak sukses adalah mereka yang tidak memiliki syarat dasar tersebut, yaitu tidak mengenal dirinya sendiri.

Banyak orang yang cerdas tapi tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai kecerdasan yang lebih dari semua orang, sehingga kecerdasan itu dibiarkan tidak berkembang bahkan tak nampak sekalipun. Adapula yang menyadari kecerdasannya, tetapi dia malah sombong dan congkak atas kecerdasannya itu, sehingga dengan kebangggaan yang berlebihan, ia melupakan usaha-usaha yang akan mengantarkannya menjadi lebih cerdas. Inilah orang yang tidak akan mendapatkan an-najah selama hidupnya.

Sementara itu, manusia yang memiliki kelemahan, kurang cerdas dan kurang mampu menangkap ilmu Allah dengan cepat. Sebenarnya, manusia seperti ini, juga mempunyai potensi untuk menggapai kesuksesan, asalkan ia mampu menutupi kelemahan dan kekurangannya. Akan tetapi, jika manusia tersebut tidak menutupi kekurangannya itu, maka ia akan sama keberadaannya seperti contoh di atas.

Dalam menempuh jalan kesuksesan, setiap orang pada hakikatnya mampu menggapainya dalam setiap langkah hidupnya, namun tak jarang ia akan menuai kegagalan, entah itu orang-orang cerdas atau kurang cerdas. Tetapi, jalan kesuksesan biasanya akan lebih mudah diraih oleh orang-orang yang cerdas. Karena itu, bagi manusia yang kurang cerdas tidak perlu berkecil hati, sebab kesuksesan akan dapat kita dapatkan meskipun dilalui dengan banyak kegagalan yang merintangi.

Sebagai manusia yang senantiasa menginginkan kesuksesan, langkah pertama adalah kita harus mampu mengidentifikasi diri sendiri. Apakah kita termasuk orang-orang kategori pertama yang memiliki kecerdasan dan kelebihan dari manusia yang lain, ataukah kita termasuk kelompok yang kedua, kelompok yang mempunyai kecerdasan yang kurang dan tak memiliki kelebihan dari manusia yang lainnya.

Maka dari itu, manusia yang cerdas dengan kecerdasannya harus mampu menahan diri dari sifat sombong dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya menjadi lebih cerdas hingga pada tingkat yang paling optimal. Sedangkan bagi setiap manusia yang kurang cerdas, tidak boleh berputus asa, karena keadaan ini adalah kondisi awal dari setiap orang. Apabila ia mampu secara konsisten menjauhkan dirinya dari sifat keputusasaan itu, insya-Allah, ia akan menuai kesuksesan dalam hidupnya. Bisa jadi, kesuksesan yang diraihnya melebihi orang-orang yang lebih cerdas. Tentu, dalam batas-batas tertentu.
Leia Mais...
0

Antara Iman, Ilmu, dan Amal


Kita harus yakin dan menguasai hal-hal yang berkenaan dengan Islam, pada saat yang sama, kewajiban kita adalah mengamalkan apa yang menjadi ajaran Islam itu. Proses pengamalan inilah yang dinilai oleh Allah swt.

Allah menilai amal seseorang sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya. Bagi Allah, amal yang memiliki nilai tinggi di hadapan-Nya adalah amal yang dilakukan dengan iklas. Ikhlas artinya bersumber dari satu keyakinan dan berdasarkan ilmu yang benar, sehingga lahirlah perbuatan yang terbaik.

Jadi, amal yang ikhlas itu merupakan amal perbuatan yang berangkat dari keyakinan semata-mata karena Allah, bukan karena niat-niat lain yang ada di balik itu. Ciri dari sebuah perbuatan atau amal yang ikhlas adalah apabila ia dilakukan dengan cara yang terbaik (the best). Manusia yang berangkat dari niat yang benar, ikhlas kepada Allah kemudian dia mengetahui ilmu yang berhubungan dengan perbuatannya itu, pasti dia akan melakukan yang terbaik di dalam hidupnya.

Orang yang beramal atau bekerja seenaknya, berbuat ala kadarnya, melakukan sesuatu karena ingin dipuji orang bukan karena Allah, biasanya selalu melakukan perbuatannya itu tanpa dilandasi keyakinan dan kepercayaan yang utuh.

Demikian juga, ketika seseorang beramal atau berbuat sesuatu tanpa atas dasar ilmu yang benar, tidak didasarkan kepada teori-teori atau syariat-syariat yang telah ditetapkan, tanpa memenuhi syarat dan rukun dari pekerjaan itu. Pasti pekerjaannya itu tidak menghasilkan sesuatu yang terbaik. Mana mungkin seseorang bisa berbuat atau beramal baik, kalau dia tidak tahu ilmunya, pasti perbuatannya itu akan penuh dengan kesalahan-kesalahan.
Karena itu dalam melakukan apa saja, terutama yang berhubungan dengan agama Islam, baik dalam hubungan kita dengan Allah atau dengan sesama manusia serta alam ini. Maka kita harus berangkat dari sebuah keyakinan terlebih dahulu, keikhlasan dan ketulusan semata-mata karena Allah, tetapi pada saat yang sama kita melakukannya atas dasar ilmu yang telah kita miliki itu. Inilah makna dari amal yang ikhlas, maka ketika Allah menegaskan bahwa kita ini diberi hidup dan mati untuk menguji kita siapa di antara kita yang paling baik amal perbuatannya, amal ibadahnya.

Allah berfirman, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ’amala”. Kita harus artikan bahwa perbuatan yang paling baik itu adalah perbuatan yang berangkat dari niat yang ikhlas dan berdasarkan ilmu yang benar. Niat yang ikhlas saja tanpa ilmu pasti menimbulkan kesalahan-kesalahan, ilmu saja tanpa niat yang ikhlas pasti akan menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Karenanya, mengamalkan apa saja yang menjadi ajaran Islam yang kita yakini itu, harus berangkat dari kepercayaan dan keikhlasan yang ada di dalam hati kita, kemudian dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada di otak kita.

Ada tiga unsur utama yang harus ada di dalam sikap kita terhadap agama, yaitu iman, ilmu, dan amal. Maka, akan tidak ada artinya keyakinan kalau tidak ada amal perbuatan, tidak ada artinya ilmu yang kita punya kalau tidak melahirkan amal-amal sholeh dalam kehidupan kita, bahkan naudzubillah ilmu yang tidak bermanfaat. Justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan diri kita dan orang-orang lain di sekitar kita.

Lalu, bagaimana kita menggabungkan tiga hal tersebut? Apakah kita harus percaya dulu, kemudian belajar lalu beramal? Bukanlah itu cara yang harus kita tempuh, melainkan antara keyakinan, ilmu pengetahuan dan amal perbuatan haruslah diupayakan secara bersamaan, karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Ketiga prinsip dasar itu harus senantiasa kita asah, kita perbaiki setiap saat, agar kita dalam melakukan sesuatu, benar-benar berangkat dari keyakinan dan berdasarkan ilmu pengetahuan. Dari keyakinan kita melahirkan dorongan untuk selalu belajar-belajar dan berbuat sesuatu dengan ilmu yang kita punya itu.

Inilah tiga hal yang harus senantiasa dijadikan prinsip dalam hidup kita, yaitu antara iman, ilmu dan amal, antara keikhlasan dalam hati, kecerdasan dalam otak dan ketulusan di dalam beramal.
Leia Mais...
0

Jerat Hawa Nafsu dan Panjang Angan-Angan




Diriwayatkan dari Ali k.w. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling saya takutkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan artinya sama dengan mencintai dunia.”
(HR Ibnu Abi-d Dunya)

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Sebagian mereka kini terjangkiti virus menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Dua virus yang bisa membunuh kepribadian bangsa dan menyebabkan kondisi kehidupan bangsa terus terpuruk.

Mega skandal Bank Century yang menilap uang negara sebesar 6,7 triliun menjadi bukti konkret bagaimana virus hawa nafsu telah menutup mata para petinggi negara ini dari kebenaran. Apa pun alasan yang dikemukakan, terutama untuk menyelematkan ekonomi bangsa ini. Sebenarnya hanya sekadar untuk menutup-nutupi fakta yang sesungguhnya. Apalagi bukti-bukti faktual menyatakan adanya tindak merugikan negara dan rakyat dalam kebijakan penyelamatan bank ini. Tapi, kebenaran tetaplah nyata. Ia tidak bisa ditutup-tutupi dengan apa pun, termasuk oleh para petinggi negara.

Virus lainnya yang menjangkiti bangsa ini adalah panjang angan-angan. Mimpi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju, sejahtera, dan makmur menjadi sebuah utopia bila diukur dengan etos kerja masyarakatnya yang pemalas, mudah putus asa dan cepat puas diri.

Masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang hanya berpijak pada angan-angan, dan bukan pada kreativitas sebagai landasan hidupnya. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu mengelola kekayaan alamnya yang luar biasa dan cenderung menjadi “tamu” di negerinya sendiri. Lahirlah berbagai bentuk penjajahan baru, terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan. Tangan asing kini begitu kuat mencengkram pundak bangsa Indonesia.

Dua virus di atas—menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan—termasuk dua perkara yang paling Rasulullah takutkan terjadi pada umatnya. Umat Islam yang diserang virus ini, mereka akan merasa kekal selamanya di dunia. Ini sangat bahaya dan membahayakan.

Jerat Hawa Nafsu

Hawa nafsu adalah musuh bersama. Karena itu, memeranginya termasuk “jihad akbar” yang sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar.” Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (HR Al Baihaqi).

Kenapa hawa nafsu mesti diperangi? Karena hawa nafsu bisa memalingkan seseorang dari kebenaran. Seorang anggota kepala daerah misalnya, dia tidak lagi akan memperjuangkan nasib rakyat, kalau orientasinya di pemerintahan hanya untuk mengembalikan modal politik yang jumlahnya miliaran rupiah yang dikeluarkan selama masa kampanye. Mustahil dia bisa mengembalikan uang itu, kecuali dengan cara korupsi. Nafsu kekuasaan pasti akan menutupi mata batin kepala daerah tersebut sebagai pelayan masyarakat.

Peperangan hawa nafsu adalah jenis peperangan batin. Hal ini berbeda dengan peperangan secara face to face melawan musuh yang secara fisik nampak di depan mata. Kita bisa menembaknya dengan mudah. Kalau nafsu itu berada di luar jasa kita dan bisa kita pegang, mudahlah kita membunuhnya hingga mati. Tetapi nafsu kita itu mengakar di dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu, tanpa kesadaran dan kemauan yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat sekehendaknya.

Memerangi hawa nafsu berarti memerangi penyakit hati seperti riya’, ujub, cinta dunia, gila pangkat, gila harta, banyak bicara, banyak makan, hasad, dengki, ego, dendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah, bakhil, sombong dan sifat destruktif lainnya. Sifah-sifat itu melekat kuat dalam hati.
Satu-satunya cara membersihkannya adalah dengan memerangi sifat-sifat destruktif tersebut hingga ke akar-akarnya. Kita perlu mencuci hati setiap detik dengan dzikrullah tiada henti. Kalau kita malas mencucinya maka sifat-sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Pada akhirnya akan menjadi penyakit. Sebaliknya, kalau kita mencuci setiap saat, maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.

Nafsu itulah yang lebih jahat dari setan. Setan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah ‘highway‘ atau jalan bebas hambatan untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah ‘highway‘ setan untuk membunuh manusia dari dalam.
Kalau nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat. “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan.” (QS Yusuf: 53)

Selain memerangi, jalan lain yang mesti ditempuh adalah mengendalikan hawa nafsu dengan akal sehat dan hati yang jernih. Hawa nafsu yang dikendalikan akan berubah fungsi sebagai penggerak tingkah laku yang menyuburkan lahirnya motivasi internal yang sangat kuat, sehingga hidup lebih bermakna dan bernilai. Dalam kondisi demikian, hawa nafsu seperti energi yang akan selalu menggerakkan mesin untuk tetap hidup dan dinamis. Keseimbangan itu menjadikan orang mampu menekan dorongan hawa nafsu pada saatnya harus ditekan (seperti rem mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.

Karenanya, keinginan menjadi bupati, anggota DPR, orang kaya, miliader atau konglomerat dan lainnya adalah dorongan nafsu yang wajar. Menjadi tidak wajar apabila keinginan itu dituruti tanpa kendali moral. Nah, jika dorongan hawa nafsu dituruti tanpa kendali moral, maka ia berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang bersifat destruktif. Ingin kaya dengan cara korupsi atau menipu, ingin menjadi pejabat dengan cara menyuap. Itu semua ujungnya pasti destruktif.

Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apa pun perilaku yang harus dikerjakan, betapapun itu menjijikkan. Jika orang memanjakan hawa nafsu dapat terjerumus pada glamourism dan hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti akan terjerumus pada kriminalitas dan kenistaan, terutama menistakan Allah. Naudzubilâh.

Panjang Angan-Angan

Panjang angan-angan sama dengan mencintai dunia. Orang yang terserang penyakit panjang angan-angan senantiasa membayangkan dirinya akan abadi di dunia. Tidak ada kehidupan yang kekal abadi, kecuali di dunia. Sikap seperti inilah yang kemudian melahirkan manusia yang gila dunia. Dunia baginya adalah segalanya. Tidak ada hidup tanpa dunia. Sikap seperti ini, sungguh sangat membahayakan, terlebih bagi seorang muslim.

Panjang angan-angan akan menyebabkan manusia berambisi memiliki sebanyak mungkin harta dan kekayaan. Tidak peduli sumber dan caranya haram. Yang penting bisa menikmati kekayaan itu. Kalau perlu, ia akan melakukan tindakan monopoli dan oligopoli dengan cara menyingkirkan orang lain secara jahat dan licik.

Ciri lain orang yang panjang angan-angan adalah tidak pernah puas (qanaah) dengan apa yang sudah dimilikinya. Apabila orang itu sudah memiliki sepeda motor, maka ia berambisi memiliki mobil. Apabila sudah memiliki mobil, ia ingin memiliki pesawat terbang. Begitu seterusnya.

Orang dengan karakter seperti ini, senantiasanya menjadikan benda-benda sebagai barometer kesuksesannya. Semakin banyak benda-benda yang dimiliki, semakin ia merasa sukses. Padahal benda-benda itu sesungguhnya akan membuat dia pikun. Mata hatinya buta. Semakin jauh dari Allah. Dan, Allah akan membinasakannya. Cepat ataupun lambat.

Rasulullaah saw. bersabda, “Anak cucu Adam itu bisa menjadi pikun, dan ada dua hal yang menyertainya, yakni keserakahan dan angan-angan.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan: “…dan ada dua hal bersamanya yang tetap muda, yaitu keserakahan terhadap harta dan keserakahan terhadap usia.” Lalu, Rasulullah saw. berkata, “Golongan pertama dari umat ini selamat karena keyakinan dan zuhud. Dan golongan terakhir dari umat ini binasa karena kekikiran dan angan-angan.” (HR Ibnu Abi-d Dunya).

Karena itu, tidak ada gunanya kita mengejar angan-angan. Semakin dikejar, angan-angan itu akan semakin menjauh, akhirnya menghilang. Mengejar angan-angan berarti mengejar ketidakpastian. Itu sama artinya dengan menjauh dari Allah. Lebih baik, kita habiskan hari-hari dalam rangkai perjalanan hidup yang singkat ini untuk beribadah kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kepastian hidup. Semakin jauh kita dari Allah, maka semakin jauh pula janji kebahagiaan yang akan Dia berikan kepada kita, terutama setelah kita hidup di akhirat kelak.

Suatu ketika, Rasulullaah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para sahabat menjawab, ‘Tentu yaa Rasulullaah. Beliau lalu bersabda, “Kalau begitu jangan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata. Dan merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)

Secara eksplisit, hadits di atas menjelaskan tentang larangan banyak angan-angan dan senantiasa meletakkan ajal di depan mata. Artinya, kapan pun ajal akan segera menemui kita. Di sinilah pentingnya kita meneguhkan prinsip bahwa sebetulnya semua benda-benda duniawi yang kita miliki adalah titipan Allah untuk dimanfaatkan dalam koridor kepentingan Allah dan bermuara kepada Allah. Ketika kita bekerja di dunia, sesungguhnya kita sedang menyiapkan diri untuk dijemput Allah. Kapan dan di manapun kita berada.

Marilah kita berdoa sebagaimana Rasulullaah saw. berdoa, :“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)

Akhirnya, tidak ada pilihan lain kalau kita mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, kecuali kita mampu mengendalikan hawa nafsu dan mengubur angan-angan yang menipu. Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari kesenangan hidup dunia yang penuh tipu daya dan angan-angan belaka. Amin.

Prenduan, 31 Maret 2010
Leia Mais...
THAKS FOR U ATTENTION
 
Santri Pesisir © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |